Eutrofikasi
Pengertian eutrofikasi
Eutrofikasi merupakan kondisi dimana
suatu perairan mengandung nutrien berlebih. Sebenarnya eutrofikasi ini
merupakan proses alamiah yang dapat terjadi di perairan dan prosesnya
membutuhkan waktu yang sangat lama. Namun, manusia dengan segala aktifitasnya yang
tidak memperdulikan lingkunagan menyebabkan perairan tercemar sehingga mempercepat
proses eutrofikasi ini.
Faktor utama penyebab eutrofikasi adalah fosfat yang sangat banyak akibat
limbah. Ini dikenali dengan air yang keruh kehijauan dan bau yang tidak sedap. Fosfat
inilah yang disinyalir menyebabkan tumbuhan air dan fitoplankton mengalami
pertumbuhan dan perkembangbiakan yang sangat cepat (blooming). Banyaknya
tanaman air dan fitoplankton ini membuat
kebutuhan oksigen terlarut (BOD) dalam air meningkat sekaligus menurunkan
kandungan oksigen terlarut (DO) secara drastis bahkan bisa mencapai nol.
Keadaan seperti ini dapat mengganggu
organisme air lainnya misalnya ikan. Ikan merupakan organisme yang sangat
bergantung pada oksigen terlarut dalam air untuk proses respirasi. Jika suatu
perairan mengalami eutrofikasi, otomatis ikan ikan yang ada di perairan
tersebut akan mati sehingga secara tidak langsung akan mengganggu keseimbangan ekosistem di perairan.
 : Penyebab eutrofikasi
Penyebab eutrofikasi hampir sebagian
besar disebabkan oleh kegiatan manusia yang menghasilkan limbah organik. Limbah organik
adalah sisa atau buangan dari berbagai aktifitas manusia seperti rumah tangga,
industri, pemukiman, peternakan, pertanian dan perikanan yang berupa bahan
organik; yang biasanya tersusun oleh karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen,
fosfor, sulfur dan mineral lainnya (Polprasert, 1989).
Menurut
Morse et al, 10 persen berasal dari proses alamiah di lingkungan air itu
sendiri (background source), 7 persen dari industri, 11 persen dari
detergen, 17 persen dari pupuk pertanian, 23 persen dari limbah manusia, dan
yang terbesar, 32 persen, dari limbah peternakan.
Kandungan yang paling banyak dalam limbah organic adalah fosfat
dan nitrogen. Menurut buku
Phosphorus Chemistry in Everyday Living, manusia berperan besar sebagai
penyumbang limbah fosfat. Jumlah fosfat yang dikeluarkan manusia sebanding dengan jumlah
yang dikonsumsinya. Tahun 1987 saja rata-rata orang di AS mengonsumsi dan
mengekskresi sejumlah 1,4 lb (pounds) fosfat per tahun. Bersandar pada data
ini, dengan sekitar 290 juta jiwa populasi penduduk AS saat ini, maka sekitar
406 juta pounds fosfor dikeluarkan manusia AS setiap tahunnya.
Bayangkan berapa jumlah fosfor
yang dilepaskan oleh penduduk bumi sekarang yang sudah mencapai sekitar 6,3
miliar jiwa? Jika dihitung, akan menghasilkan sebuah angka yang sangat
fantastis! Ini belum termasuk fosfat yang terkandung dalam detergen yang banyak
digunakan masyarakat sehari-hari dan sumber lainnya seperti disebut di atas.
Limbah
organic ini kebanyakan akan mengair ke sungai, danau atau perairan lainnya
melalui aliran air hujan. Limbah organik yang masuk ke badan air yang anaerob
akan dimanfaatkan dan diurai (dekomposisi) oleh mikroba anaerobik atau
fakultatif (BAN).
Bahan organic ini ada yang larut
dalam air dan ada yang berupa padatan. Bahan yang berupa padatan akan mengendap
di dasar perairan. Sedang yang larut dalam air jika tidak di segera mansaafkan
oleh organism seperti ikan dan yang lainnya, maka akan di gunakan oleh mikroba.
baik mikroba aerobik (mikroba yang hidupnya memerlukan oksigen); mikroba
anaerobik (mikroba yang hudupnya tidak memerlukan oksigen) dan mikroba
.fakultatif (mikroba yang dapat hidup pada perairan aerobik dan anaerobik).
(dekomposisi)
oleh mikroba aerobik (BAR); dengan proses seperti pada reaksi (1) dan (2):
BAR + O2 + BAR è CO2 + NH3 + prod lain + enerji … (1)
(COHNS)
COHNS + O2 + BAR + enerji è C5H7O2N (sel MO baru)…(2)
COHNS + O2 + BAR + enerji è C5H7O2N (sel MO baru)…(2)
Kedua
reaksi tersebut diatas dengan jelas mengisaratkan bahwa makin banyak limbah
organik yang masuk dan tinggal pada lapisan aerobik akan makin besar pula
kebutuhan oksigen bagi mikroba yang mendekomposisi, bahkan jika keperluan
oksigen bagi mikroba yang ada melebihi konsentrasi oksigen terlarut maka
oksigen terlarut bisa menjadi nol dan mikroba aerobpun akan musnah digantikan
oleh mikroba anaerob dan fakultatif yang untuk aktifitas hidupnya tidak
memerlukan oksigen.
Akibat eutrofikasi
Limbah organic kebanyakan
akan mengair ke sungai, danau atau perairan lainnya melalui aliran air hujan. Limbah
organik yang masuk ke badan air yang anaerob akan dimanfaatkan dan diurai
(dekomposisi) oleh mikroba anaerobik atau fakultatif (BAN) dan menghasilkan
sel-sel mikroba baru juga menghasilkan senyawa-senyawa CO2, NH3, H2S, dan CH4
serta senyawa lainnya seperti amin, PH3 dan komponen fosfor. Asam sulfide
(H2S), amin dan komponen fosfor adalah senyawa yang mengeluarkan bau menyengat
yang tidak sedap, misalnya H2S berbau busuk dan amin berbau anyir. Selain itu
telah disinyalir bahwa NH3 dan H2S hasil dekomposisi anaerob pada tingkat
konsentrasi tertentu adalah beracun dan dapat membahayakan organisme lain,
termasuk ikan.
Selain
menghasilkan senyawa yang tidak bersahabat bagi lingkungan seperti tersebut
diatas, hasil dekomposisi di semua bagian badan air menghasilkan CO2 dan NH3
yang siap dipakai oleh organisme perairan berklorofil (fitoplankton) untuk
aktifitas fotosintesa. Limbah yang banyak akan menghasilkan hasil dekomposisi
yang banyak pula. Karena hasil dekomposisi tersebut sangat banyak. Otomatis
membuat fitoplankton tumbuh dan berkembang biak dengan cepat pula dalam jumlah
besar. Kondisi ini pada siang hari, fitoplankton akan menyerap hasil
dekomposisi berupa CO2 dan NH3 dengan bantuan sinar
matahari dan menghasilkan oksigen. Namun banyaknya fitoplankton membuat air
kehijauan sehingga menghalangi atau membatasi sinar matahari masuk ke perairan.
Ini menyebabkan proses fotosintesis hanya terjadi di permukaan sampai kedalaman
tertentu saja dinama masih tertembus cahaya matahari. Fitopankton yang tidak
mendapat sinar matahari tidak akan melakukan fotosintesis dan tetap menyerap
oksigen dalam air.
Sedangkan
pada malam hari dimana tidak terdapat sinar matahari, fitoplankton yang
jumlahnya melimpah tersebut tidak memproduksi oksigen lagi dan menyerap oksigen
dalam air untuk respirasi. Ini menyebabkan kebutuhan oksigen meningkat pesat
dan kadar oksigen terlarut menjadi turun drastic atau bahkan bisa mencapai nol.
Blooming
fitoplankton ini akan menyebabkan berbagai dampak negatif bagi ekosistem
perairan, seperti berkurangnya oksigen di dalam air yang dapat menyebabkan
kematian berbagai organism air lainnya. Hal ini diperparah dengan fakta bahwa
beberapa jenis fitoplankton yang potensial blooming adalah yang bersifat toksik
ayau beracun, seperti beberapa kelompok Dinoflagelata, yaitu Alexandrium spp, Gymnodinium spp, dan
Dinophysis spp. Dari kelompok diatom tercatat jenis Pseudonitszchia spp
termasuk fitoplankton toksik.
Beberapa
penyakit akut yang disebabkan oleh racun dari kelompok fitoplankton di atas
adalah Paralytic Shellfish Poisoning (PSP), Amnesic Shellfish Poisoning (ASP),
dan Diarrhetic Shellfish Poisoning (DSP). Jenis racun yang ada juga bermacam
macam, dari mulai Domoic Acid sampai Saxitaxin yang daya letalnya hampir 1.000
kali lebih besar dari cyanida!
Racun-racun
yang dihasilkan oleh fitoplankton ini sangat berbahaya karena di antaranya dapat
menyerang sistem saraf manusia, pernapasan, dan pencernaan. Diduga semua jenis penyakit
di atas berkaitan dengan konsumsi kerang oleh manusia. Malangnya lagi, semua
jenis fitoplankton yang beracun di atas dijumpai di beberapa perairan pesisir
Indonesia.
Beberapa
kejadian yang disebabkan oleh fitoplankton beracun tercatat di perairan
Lewotobi dan Lewouran (Nusa Tenggara Timur), Pulau Sebatik (Kalimantan Timur),
perairan Makassar dan Teluk Ambon. Dari hasil penelitian peneliti di Unpatti,
tampak bahwa bloom fitoplankton PSP Alexandrium spp rutin terjadi di Teluk
Ambon. Namun, karena sistem kearsipan data yang masih jauh dari memadai,
berbagai kejadian fatal yang diakibatkan oleh fitoplankton beracun tidak
tercatat.
Penanganan Eutrofikasi
Menyadari
bahwa senyawa fosfatlah yang menjadi penyebab terjadinya eutrofikasi, maka
perhatian para saintis dan kelompok masyarakat pencinta lingkungan hidup
semakin meningkat terhadap permasalahan ini. Ada kelompok yang condong memilih
cara-cara penanggulangan melalui pengolahan limbah cair yang mengandung fosfat,
seperti detergen dan limbah manusia, ada juga kelompok yang secara tegas
melarang keberadaan fosfor dalam detergen. Program miliaran dollar pernah
dicanangkan lewat institusi St Lawrence Great Lakes Basin di AS untuk
mengontrol keberadaan fosfat dalam ekosistem air. Sebagai implementasinya,
lahirlah peraturan perundangan yang mengatur pembatasan penggunaan fosfat,
pembuangan limbah fosfat dari rumah tangga dan permukiman. Upaya untuk
menyubstitusi pemakaian fosfat dalam detergen juga menjadi bagian dari program
tersebut.
Ada
beberapa faktor yang menyebabkan penanggulangan terhadap problem ini sulit
membuahkan hasil yang memuaskan. Faktor-faktor tersebut adalah aktivitas
peternakan yang intensif dan hemat lahan, konsumsi bahan kimiawi yang
mengandung unsur fosfat yang berlebihan, pertumbuhan penduduk Bumi yang semakin
cepat, urbanisasi yang semakin tinggi, dan lepasnya senyawa kimia fosfat yang
telah lama terakumulasi dalam sedimen menuju badan air.
No comments:
Post a Comment