DASAR-DASAR PEMERIKSAAN PENYAKIT IKAN
Oleh
Hambali Supriyadi
1. PENDAHULUAN
Dalam masa beberapa
tahun belakangan ini masalah kesehatan ikan menjadi masalah besar yang harus
dihadapi oleh oleh para petani ikan di seluruh dunia. Di negara-negara Asia
Tenggara produksi ikan telah sangat dipengaruhi oleh adanya wabah penyakit ikan
seperti misalnya Epizootic Ulcerative
Syndrom (EUS) yang telah mewabah pada sekitar tahun 1980 an. Penyakit bakterial
yang diakibatkan oleh bakteri Aeromonas
hydrophila masih menjadi masalah yang serius terutama pada peternakan lele
dumbo (Clarias gariepinus) dan Ikan
hias. Demikian pula infeksi bakteri Mycobacterium
sp. telah mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit pada usaha budidaya
ikan gurame. Kerugian yang diakibatkannya dapat mencapai 60% kematian.
Pada usaha budidaya
ikan laut wabah telah terjadi pada tahun 1991 akibat infeksi bakteri Vibrio harveyi. Demikian pula Yellow
Head Disease (YHD) Monodon Baculovirus (MBV), Systemic Ectodermal and
Mesodermal Baculo Virus (SEMBV) dan Hepatopancreatic Parvo-like Virus adalah
beberapa patogen yang telah mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit pada
usaha budidaya udang baik di panti benih maupun usaha pembesaran. Wabah
penyakit ikan pada usaha budidaya ikan
jaring apung telah dilaporkan pada tahun 1993, dimana kerugian yang
ditimbulkan akibat infeksi vibriosis cukup serius (Rukyani et al. 1993).
Mengingat hal-hal tersebut diatas,
maka perlu segera didapatkan cara penganggulangan penyakit dan mencegah makin
meluasnya penyebaran penyakit dari satu areal budidaya ke areal yang lain.
Untuk hal tersebut diatas maka tentu saja diperlukan beberapa dukungan.
Dukungan tersebut antara lain adanya sistem perkarantinaan yang kuat serta yang
diperkuat oleh peraturan dan perudang-undangan serta metoda analysis yang
tepat. Data penyebaran penyakit dinegara ini perlu secara periodik dan dalam
rentang waktu yang tidak terlalu lama untuk di perbaharui. Oleh karena itu maka
monitorig penyakit di seluruh wilayang republik Indonesia perlu secara teratur
dilaksanakan.
Makalah ini bertujuan untuk
membahas dasar-dasar pemeriksaan
penyakit ikan, tahap-tahap pekerjaan serta persiapan-persiapan yang harus
dikerjakan dalam pemeriksaan penyakit ikan.
2. DIAGNOSA PENY@KIT
Diagnosa artinya
mengenali adanya ketidaknormalan pada ikan-ikan yang dibudidayakan serta dilanjutkan dengan mengidentifikasi agen penyebabnya. Tahapan
diagnosa meliputi pengenalan atau
pengamatan terhadap kelainan–kelainan yang terdapat pada tubuh ikan termasuk
juga kelainan perilaku.
Ikan sakit secara
visual bisanya ditujukkan dengan gejala klinis seperti: warna kusam atau pucat,
sirip rusak/rontok, sisik lepas dan kadang tidak rapi, luka, pendarahan,
produksi lendir berlebihan atau berkurang, tutup insang selalu terbuka dan
warna lembar insang pucat, benjolan pada insang atau daging, mata menonjol,
ukuran badan dan kepala tidak proporsional dan mungkin terjadi kelainan bentuk
tubuh.
Ikan yang kurang sehat biasanya menunjukkan perilaku yang menyimpang seperti: memisahkan diri dari kelompok, ikan sering menggosok-gosokkan tubuhnya pada benda-benda yang ada di sekelilingnya, frekwensi pernafasan meningkat dan lebih banyak berkumpul di sumber air masuk, pergerakan renangnya lamban dan kurang terarah dan nafsu makan berkurang (anorexia), serta diam di dasar atau menggantung di permukaan air.
Ikan yang kurang sehat biasanya menunjukkan perilaku yang menyimpang seperti: memisahkan diri dari kelompok, ikan sering menggosok-gosokkan tubuhnya pada benda-benda yang ada di sekelilingnya, frekwensi pernafasan meningkat dan lebih banyak berkumpul di sumber air masuk, pergerakan renangnya lamban dan kurang terarah dan nafsu makan berkurang (anorexia), serta diam di dasar atau menggantung di permukaan air.
Diagnosa juga
melakukan tindakan pengamatan dilapangan termasuk ada atau tidaknya kematian
ikan, kalau ada berapa banyak kematian
tersebut dan pada ukuran ikan yang mana kematian tersebut terjadi. Pengamatan
juga dilakukan pada kondisi lingkungan budidaya dan kondisi air seperti suhu,
warna, kekeruhan, dan bau.
3. TEKNIK SAMPLING
Sampel ikan untuk keperluan
diagnosa penyakit ikan sebaiknya diambil
secara periodic. Spesimen ikan yang diambil harus dapat mewakili populasi ikan
yang hendak didiagnosa. Misalnya, pada populasi yang secara klinis telah
menunjukkan adanya gejala infeksi patogen, maka sampel harus diambil (a) ikan
yang kelihatan sehat, (b) ikan yang sakit dengan gejala klinis sangat jelas,
dan (c) ikan yang baru mengalami kematian (30 – 60 menit).
Frekuensi
sampling sebaiknya terencana , misalnya setiap 1 bulan sekali untuk ikan-ik`n
di kolam pembesaran, atau 3 - 6 bulan sekali untuk induk-induk ikan. Melalui
program monitoring yang dilakukan secara teratur, maka munculnya kasus penyakit
akan terdeteksi lebih dini.
Seperti
telah disebutkan diatas bahwa jumlah sample sebaiknya dapat mewakili populasi.
Sebagai pedoman maka dapat mengikuti aturan yang telah dhsepakati bersama dapat
dilihat pada tabel 1.
Tabel
1. Jumlah ikan sample yang diperlukan
untuk ukuran populasi yng berbeda dan
kepercayaan tingkat prevalensi infeksi.
Ukuran
populasi
|
Jumlah
ikan yang disampling dengan asumsi tingkat prevalensi
|
|
5%
|
10%
|
|
50
100
250
500
1.000
2.500
5.000
10.000
100.000
lebih
dari 100.000
|
29
43
49
54
55
56
57
57
57
60
|
20
23
25
26
27
27
27
27
30
30
|
Sumber: McDaniel (1979).
4. PENGAWETAN DAN TRANSPORTASI
SAMPEL
1. Ikan hidup.
Sampel ikan hidup akan lebih baik untuk
segala macam keperluan seperti untuk pemeriksaan parasit, bakteri, jamur,
maupun virus. Tenntu saja pengangkutan sample semacam ini memerlukan teknik
tertentu. Teknologi pengankutan ikan hidup telah suda ada dan berkembang
dinegara kita.
2.
Ikan mati yang di es
Ikan yang baru mati tidak lebih dari 60-90 menit dapat disimpan
dalam refrigerator atau dalam es bok. Penyimpanan ikan harus terpisah untuk
tiap individu supaya tidak lengket dan tidak terjadi kontaminasi antara ikan
sehat dan ikan sakit. Pengiriman sample dapat dilakukan secara langsung dengan menggunakan wadah
termos atau es bok.
3. Ikan mati beku
Ikan yang mati bisa saja
dibekukan dengan menggunakan mesin pembeku (freezer), kemudian dikirim dalam
keadaan beku. Sampel demikian dapat dugunakan bagi pemeriksaan baik parasit, jamur, bakteri maupun virus.
Namun sample tersebut tidak bisa dipakai untuk pembuatan preparat histology.
4. Ikan yang diawetkan
dengan fiksatif.
Ikan sample dapat dikirim dalam bentuk yang sudah diawetkan dengan
menggunakan fiksatif. Adapun fiksatif yang dapat digunakan antara lain
formalin, alkohol 70%. Sampel yang
difiksasi dengan formalin dapat
digunakan bagi pemeriksaan parasit dan histopatologi, tapi tidak dapat
digunakan bagi pemeriksaan bakteri, jamur dan virus. Sampel yang diawetkan
dengan alcohol 70% dapat digunakan bagi
pemeriksaan parasit, virus dan mungkin histopatologi, namun tidak bisa dipakai
bagi pemeriksaan jamur, dan bakteri. Sampel yang sudah diawetkan dengan
menggunakan bahan fiksatif dapat dikirim bebas dengan menggunakan wadah yang
aman.
5. Sampel jaringan yang
terpisah
Sampel juga dapat diawetkan secara terpisah tergantung keperluan,
misal untuk pemeriksaan virus dapat hanya dengan mengirim ginjal, hati, limfa
atau bagian badan yang diduga terinfeksi dengan menggunakan bahan fiksatif alcohol
70% atau “transport medium”. Sampel seperti tersebut diatas dapat juga
difiksasi dengan formalin buffer bagi kepentingan pemeriksaan histipatologi
5. CARA PEMERIKSAAN SAMPEL
1. Pemeriksaan parasit.
Pemeriksaan parasit dilakukan secara
menyeluruh termasuk ekto dan
endoparasit. Pemeriksaan parasit pada kulit sirip dan insang dapat diamati
melalui pembuatan preparat “smear” kemudian diamati dibawah mikroskope.
Pemeriksaan endo parasit dapat dilanjtkan setelah kita melaksanakan pembedahan ikan. Amati secara seksama
kelainan dan adanya parasit dalam rongga perut dan pada organ dalam lain
seperti ginjal hati kantung empedu, baik menggunakan mata telanjang maupun
dengan bantuan mikroskope. Usus ikan kemudian dbuka untuk mengetahui ada atau
tidaknya parasit terutama cacing. Korne mata juga sebaiknya dibedah untuk
diamati ada atau tidaknya parasit.
2. Pemeriksaan Jamur
Jamur dapat diisolasi dari kulit, sirip dan insang. Isolat
kemudian ditanamkan diatas media jamur baik media umum maupun media specifik
tergantung dari tujuannya. Untuk mendeteksi adanya jamur yang bersifat sistemik
kita dapat mengambil isolat dari alat-alat dalam terutama ginjal dan limfa.
3. Pemeriksaan bakteri
Bakteri luar dapat diisolasi dari bagian tubuh luar speri kulit
sirip dan insang terutama yang menunjukkan gejala infeksi. Untuk baketri yang
sistemik isolat dapat diambil dari darah
ikan atau alat-alat dalam seperti ginjal, limfa dan jantung. Isolat kemudian
ditanamkan diatas media baik umum m,aupun spesifik, dan kemudian dilanjutkan dengan
mengidentifikasi baik dengan metoda biokimia ataupun dengan teknik serologis
atau teknik lain yang lebih moderen.
4. Pemeriksaan virus
Isolat virus dapat diambil
baik organ luar maupun organ dalam yang diduga terinfeksi. Pengambilan
isolat biasanya tergantung dari sifat infeksi virus. Karena masing-masing virus
mempunyai target infeksi yang berlainan.
Sampel kemudian dianalisis berdasarkan metoda yang tepat baik dengan
menggunakan “cell line”, serologis ataupun menggunakan tekhnik PCR.
5. Pemeriksaan
histopatologi
Pemeriksaan ini berdasarkan pada perubahan-perubahan yang ada pada
jaringan tertentu yang diakibatkan karena adanya infeksi suatu penyakit.
Perubahan struktur jaringan ada yang secara umum dan ada pula yang spesifik
bagi suatu patogen. Biasanya sebelum
bisa diamati jaringan tersebut perlu diproses terlebih dahulu dengan teknik
tertentu dan dicat dengan pengecatan yang diperlukan tergantung kebutuhan.
Daftar Pustaka
Andrews, C., A. Exell and N. Carrington. 1988. The Intervet Manual
of Fish Health.
Salamander Books Ltd. London.
Austin, B and D.A.
Austin. 1987. Bacterial Fish Pathogens: Disease in farmed and wild
fish.John
wiley and Son. New York. p.70.
Post, G. 1983. Textbook of Fish Health.TFH Publication, Inc. Ltd.
Rukyani, A; P.
Taufik and A. Poernomo. 1993. Penyakit dipertambakan udang.
Warta Penelitian Jakarta.
Sarig, S. 1971. Diseases of Warmwater Fishes. TFH Publ., Neptune City, New Jersey.
Snieszko, S.F. 1973. The
effect of environmental stress on outbreak of infection diseases of fishes. J.
Fish. Biol. (6) : 197‑208.
No comments:
Post a Comment