Laporan Praktikum Fisiologi Hewan
OSMOREGULASI
R.Adhariyan Islamy (0910810063)
Malang, 25 Juni 2011
Mengetahui,
Koordinator
Asisten
Danang Ferry P.
NIM.
0810850034
|
Menyetujui,
Dosen
Pengampu Mata Kuliah
DR. Ir. Agoes Soeprijanto, MS
NIP.
195908071986011001
|
KATA PENGANTAR
Segala puja dan puji
syukur ke hadiran Allah SWT. atas terselesainya praktikum
dan penulisan laporan dari mata kuliah Fisiologi Hewan Air. Rasa terima kasih
yang sebanyak- banyaknya kami ucapkan kepada :
1. Orang tua kami tercinta, yang selalu memberi doa dan
semangat, serta dorongan,
2. Dosen mata kuliah Fisiologi Hewan Air, atas bimbingan dan
ilmu yang bermanfaat yang diberikan kepada kami,
3. Para asisten praktikum Fisiologi Hewan Air, yang telah
membimbing dalam kegiatan praktikum ini,
4. Teman- teman MSP`09, atas kerja sama dan kekompakannya selama ini, serta
5. Semua pihak yang banyak membantu yang tidak bisa kami
sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa
penulisan ini jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu, kritik dan saran yang
bermanfaat dari pembaca sangatlah diharapkan. Penulis berharap semoga penulisan
laporan praktikum Fisiologi Hewan Air ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Malang, 25 Juni
2011
Penulis,
|
Abstract
Osmosis is a water moving
from the hight concentration of water to the law concentration of water.
Osmoregulation is process to keep balance between water in environment with solubility
that inside of animal body. Diffusion is moving water from the high
concentration area to the low concentration. In this experiment, we count pH,
diffusion and osmosis, and salinity. Oreochromis niloticus is a euryhaline
fish. In the group 4, first weight of Oreochromis niloticus is 28 grams and the
last weight is 29 grams. The weight is decrease and the open of mouth is not
stabil. The weight of (empedu) move weight than before (increase) because it
has get diffusion. The water from environment pass the inside of empedu. In
experiment about salinity, Clarias gariepinus can’t live a long in high
salinity because they are stenohaline fish. They can live in fresh water.
Oreochromis niloticus can live a long in high salinity and in fresh water because
they are euryhaline fish. The weight of both Oreochromis niloticus and Clarias
gariepinus decrease.
Key words : Osmosis,
diffusion, ph
Abstrak
Osmosis adalah pertukaran air dari kosentrasi tinggi ke
kosentrasi rendah. Osmoregulasi adalah proses untuk menjaga keseimbangan antara
air yang ada dalam lingkungan dengan air yang ada di dalam tubuh hewan. Difusi
adalah pertukaran air dari lingkungan yang berkosentrasi tinggi ke lingkungan
yang berkosentrasi rendah. Pada percobaan ini, kami mengukur pH,difusi dan
osmosis, dan salinitas. Oreochromis
niloticus adalah hewan euryhaline. Pada kelompok 4, berat awal ikan Oreochromis niloticus adalah 28 gram dan
berat akhirnya adalah 29 gram. Beratnya menurun dan bukaan mulutnya tidak
stabil. Berat dari empedu lebih berat
dari sebelumnya karena mengalami difusi. Air dari lingkungan masuk ke dalam
empedu. Pada percobaan tentang salinitas, Clarias
gariepinus tidak dapat hidup lebih lama pada salinitas tinggi karena
termasuk ikan stenohalin. Ikan ini hanya dapat hidup pada air tawar. Oreochromis niloticus dapat hidup lebih
lama pada salinitas tinggi dan air tawar karena merupakan ikan eurihalin. Berat
dari Oreochromis niloticus dan Clarias gariepinus mengalami penurunan.
Kata kunci : Osmosis,
Difusi, pH
1. PENDAHULUAN
1.1.
Pengertian Osmosis
Menurut Kordi dan
Andi (2007), osmosis adalah difusi atau aliran substansi-substansi melalui
suatu membran. Bila membran cukup permeabel (dapat dilalui dengan lancar), maka
cairan dan partikel terlarut, baik molekul atau ion dari dua larutan diantara
membran yang berseberangan akan bergerak, berpindah, atau mengalir (berdifusi).
Proses inti dalam osmoregulasi yaitu osmosis. Osmosis
adalah pergerakan air dari cairan yang mempunyai kandungan air lebih tinggi
(yang lebih encer) menuju ke cairan yang mempunyai kandungan air lebih rendah
(yang lebih pekat). Contoh osmosis ialah pergerakan air dari larutan gula 5%
menuju larytan gula 15%. Dalam contoh tersebut, air akan bergerak terus dari
larutan gula 5% menuju larutan gula 15% sampai tercipta keadaan seimbang antara
keduanya (Isnaeni,2006).
Molekul air bergerak kedua arah melalui membran, tetapi
terjadi gerakan yang lebih besar dari daerah konsentrasi tinggi (100% di luar
kantung) ke daerah berkonsentrasi rendah (95% di dalam kantung). Difusi air
atau larutan melalui suatu membran disebut osmosis (Villee et al.,1984)
1.2.
Pengertian Osmoregulasi
Mekanisme untuk mengatur jumlah air dan konsentrasi zat
terlarut disebut osmoregulasi. Jadi, osmoregulasi adalah proses untuk menjaga
keseimbangan antara jumlah air dan zat terlarut yang ada dalam tubuh hewan
(Isnaeni, 2006).
Menurut Kordi (2008), osmoregulasi adalah upaya hewan air
untuk mengontrol keseimbangan air dan ion antara tubuh dan lingkungannya, atau suatu proses pengaturan tekanan osmose.
Hal ini penting dilakukan terutama oleh organisme perairan karena :
1.
Harus
terjadi keseimbangan antara substansi tubuh dan lingkungannya.
2.
Membran
sel yang permeabel merupakan tempat lewatnya beberapa substansi yang bergerak.
3.
Adanya
perbedaan tekanan osmose antara cairan tubuh dan lingkungan.
Menurut Kashiko (2000) dalam Muslihun (2003), osmoregulasi adalah kemampuan organisme
untuk mempertahankan keseimbangan kadar dalam tubuh, di dalam zat yang kadar
garamnyaberbeda. Secara sederhana hewan dapat
diumpamakan sebagai suatu larutan yang terdapat di dalam suatu kantung
membran atau kantung permukaan tubuh.
1.3.
Pengertian Difusi
Menurut Soekartono (1994), difusi ialah penyebaran
molekul-molekul suatu zat baik gas, maupun zat cair dan zat padat,
molekul-molekulnya ada kecenderungan untuk menyebar ke segala arah sampai
terdapat suatu konsentrasi yang sama. Dari ketiga macam zat maka gaslah yang
paling mudah berdifusi. Difusi berlangsung lebih cepat jika ada kenaikan
temperatur.
Molekul di dalam keadaan cair atau gas akan bergerak ke
semua arah sampai tersebar rata dalam ruang yang tersedia. Difusi dapat di beri
batasan (definisi) sebagai gerakan molekul dari suatu daerah dengan konsentrasi
tinggi ke daerah lain dengan konsentrasi lebih rendah yang disebabkan oleh energi
kinetik molekul-molekul tersebut. Laju difusi adalah fungsi dari perbedaan
konsentrasi, ukuran molekul dan suhu. Jika sedikit gula ditaruh dalam segelas
air, gula itu akan larut dan molekul gula berdifusi dan tersebar merata di
dalam cairan (Villee et al., 1984).
1.4.
Transpor Aktif
Menurut Giese (1968), ketika sebuah substansi berpindah
menuju sebuah membran sel yang berkonsentrasi yang lebih tinggi, baik masuk
atau keluar dari sel, itu semua terjadi sekali bahwa sesungguhnya perpindahan
tidak dapat dilakukan oleh kekuatan difusi oleh energi kinetik saja. Untuk
memindahkan molekul dari suatu zat menuju ke konsentrasi yang lebih tinggi dan
melawan mekanisme pergerakan gradien elektrokimia selain difusi, dan sumber
gerak tersebut sel harus bergerak dengan menggerakkan zat melalui membran sel
menuju konsentrasi yang lebih tinggi. Setiap pergerakan zat yang melalui
membran sel yang membutuhkan energi pada bagian sel disebut transpor aktif.
Transpor aktif membutuhkan energi dalam bentuk adenosin
trifosfat (ATP) dan yang umum terjadi adalah sistem ATPase diaktifasi oleh NaK
(pompa Natrium-Kalium) yang berlangsung pada membran sel. Model enzim tunggal
ini memompa 3 molekul ion Na+ dan K+, dan membutuhkan
satu molekul ATP (Rudi, 2006).
Pada crustacea air tawar, transpor aktif ion terjadi
melalui insang. Vertebrata air tawar melakukan hal yang hampir sama dengan
invertebrata air tawar, yaitu memasukkan ion dan garam dengan transpor aktif.
Sebenarnya, penggantian ion yang terlepas ke dalam air dapat dilakukan dengan
makan, namun sumber masukan ion yang utama adalah transpor aktif melalui insang
(Isnaeni, 2006).
1.5.
Organ Osmoregulasi
Pengaturan jangka panjang melibatkan modifikasi
organ-organ osmoregulasi seperti insang, intestine, dan ginjal. Pada level
jaringan dan sel, bila ikan berpindah ke lingkungan laut, sel klorida tipe air
tawar hilang, sedangkan sel klorida tipe air laut berdiferensiasi pada insang
(Mancera and Mc Cormick, 1999 dalam Marsigliante
et al.,1997 dalam Susilo, 2005).
Menurut Jeffri (2010), organ-organ sistem osmoregulasi:
kulit, ginjal, insang, lapisan tipis mulut. Ginjal terletak di atas rongga
perut, di luar peritonium, di bawah tulang punggung dan aorta dorsalis,
sebanyak satu pasang, berwarna merah, memanjang. Fungsi ginjal:
1.
Menyaring
sisa-sisa proses metabolisme untuk dibuang, zat-zat yang diperlukan tubuh
diedarkan lagi melalui darah.
2.
Mengatur
kekentalan urin yang dibuang untuk menjaga keseimbangan tekanan osmotik cairan
tubuh.
1.6.
Pola Regulasi Ion dan Air pada Ikan
Menurut Chan (2010), regulasi ion dan air pada ikan
terjadi hipertonik atau isotonik tergantung pada perbedaan (lebih tinggi, lebih
rendah, sama) konsentrasi cairan tubuh dengan konsentrasi media hidupnya.
Perbedaan tersebut dapat menangani komposisi cairan ekstraseluler dalam tubuh
ikan. Untuk ikan-ikan potadrom yang bersifat hiperosmotik terhadap
lingkungannya dalam proses osmoregulasi, air bergerak ke dalam tubuh dan
ion-ion keluar ke lingkungan dengan cara difusi. Untuk ikan-ikan oseanodrom
yang bersifat hipoosmotik terhadap lingkungannya, air mengalir secara osmose
dalam tubuhnya melalui ginjal, insang, dan kulit ke lingkungan, sedangkan
ion-ion masuk ke dalam tubuhnya secara difusi.
Menurut Yuwono dan Purnama (2001), hewan vertebrata air
yang hidup di laut memiliki permasalahan tekanan osmotik yang berbeda dari
mereka yang hidup di air tawar. Ikan air laut mengalami permasalahan kehilangan
air karena tubuhnya hipotonik terhadap mediumnya, sedangkan ikan air tawar
mengalami permasalahan kemasukan air dari lingkungannya karena cairan tubuhnya
hipertonik terhadap mediumnya. Karena ikan laut kehilangan airnya maka
kompensasinya ia minum banyak air secara terus-menerus. Pada ikan air tawar
yaitu ikan mujaher (Oreochromis
mossambicus) transport ion dilakukan oleh sel-sel klorida pada membran
operkular.
1.7
Proses Osmoregulasi
1.7.1. Ikan
Elasmobranchi
Kontribusi tenggara dari Nomer Smith dan rekan kerja di
tahun 1530-an telah ada suatu kemajuan yang cukup dalam pengetahuan kita
tentang strategi osmoregulasi ikan elasmobranchi. Diakui area yang ditahan
dalam cairan tubuh sebagai bagian dari osmoregulasi ikan elasmobranchi sehingga
osmolalitas cairan-cairan tubuh, dinaikkan untuk tingkat yang 150 atau
hiperosmotik dengan medium sekitarnya. Dari studi pada saat itu dia juga
mendalilkan bahwa banyak elasmobranchi hunian laut tidak mampu beradaptasi
untuk mencairkan lingkungan. Namun, penyelidikan yang lebih baru telah
menunjukkan bahwa ikan ini memiliki kapasitas untuk menyesuaikan diri kepada
suatu iklim dengan perubahan salinitas melalui regulasi independen Nag (Hazon et al., 2003).
Elasmobranchi memiliki masalah berupa pemasukan Na+yang
terlalu banyak ke dalam tubuhnya (melalui insang). Untuk mengatasi masalah
tersebut, elasmobranchi menggunakan kelenjar khusus, yaitu kelenjar rektal,
yang sangat penting untuk mengeluarkan kelebihan Na+ secara aktif.
Kelenjar rektal merupakan kelenjar khusus yang terbuka ke arah rektum dan
menyekresikan cairan kaya NaCl. Masalah lain yang dihadapi elasmobranchi ialah
adanya perolehan air yang terlalu sedikit. Untuk mengatasinya, hewan ini
menghasilkan sedikit urin. Sekalipun hanya sedikit, urin tersebut juga dapat
dimanfaatkan untuk mengeluarkan kelebihan NaCl (Isnaeni, 2006).
1.7.2.
Ikan Teleostei
Menurut Kordi (2008), pada ikan air tawar (teleostei),
karena bersifat hiperosmotik terhadap lingkungannya menyebabkan air bergerak
masuk ke dalam tubuh dan ion-ion keluar lingkungan secara difusi. Untuk menjaga
keseimbangan cairan tubuhnya, ikan air tawar berosmoregulasi dengan cara minum
sedikit air atau tidak minum sama sekali. Sementara pada ikan laut
(elasmobranchi), karena tekanan osmose air laut lebih tinggi daripada cairan
tubuh sehingga secara alami air akan mengalir dari dalam tubuh ke
lingkungannya. Secara osmose melewati ginjal, insang dan mungkin juga kulit.
Sebaliknya, garam-garam akan masuk ke dalam tubuh melalui difusi. Untuk
mempertahankan konsentrasi garam dan airdalam tubuh, ikan laut memperbanyak
minum air laut dan melakukan osmoregulasi.
Ikan teleostei telah mampu mempertahankan ciri-ciri
permeabilitas dari ion-ion branchide yang lebih rendah daripada lingkungannya
seperti pengukuran secara tidak langsung Na+ atau Cl- yang umumnya kurang dari 100 Nm, 100 g-
n- g dalam kisaran yang sama seperti hagfish, lamprey, dan
elasmobranchi. Kenaikan ini sedikit rendah walau terdapat gradien substansial
elektrokimia, berkaitan dengan sambungan antara sel yang banyak dan signifikan,
kaya mitokondria “sel-sel klorid”dan bagian-bagian sel dalam ephitelium insang
pada air tawar teleostei (Evans, 1993).
2. METODOLOGI
2.2. Fungsi Alat dan Bahan
2.2.1. Fungsi Alat
a. Toleransi pH
Alat-alat yang
digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Air pada materi Osmoregulasi mengenai
toleransi pH, yaitu:
Ø
Toples
2L : sebagai media pengamatan ikan
Ø
Hand
tally counter : untuk menghitung bukaan mulut ikan nila
selama 1 menit sebanyak 10 kali
Ø
Timbangan
digital : untuk menimbang berat ikan nila
sebagai Wo dan Wtdengan ketelitian 10-2
Ø
Stopwatch : untuk menghitung lama waktu
pengamatan
Ø
Nampan : sebagai tempat alat dan bahan
Ø
Lap
basah : agar ikan tetap basah (hidup) pada
saat mengambil ikan dari bak ke toples
Ø
Bak
air : tempat ikan sebelum diamati
Ø
pH
meter : untuk mengukur pH air
Ø plastik : sebagai alas pada saat menimbang
ikan
b. Pengamatan Empedu
Alat-alat yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan
Air pada materi Osmoregulasi mengenai pengamatan empedu, yaitu:
Ø
Toples
2L : sebagai media untuk pengamatan
empedu
Ø
Timbangan
digital : untuk menimbang berat empedusebagai Wo
dan Wt dengan ketelitian 10-2
Ø
Stopwatch : untuk menghitung waktu yang
dibutuhkan dalam pengamatan
Ø
Nampan : sebagai tempat alat dan bahan
Ø
Lap
basah : agar ikan tetap basah (hidup) pada
saat mengambil ikan dari bak ke toples
Ø
Refraktometer : sebagai alat untuk mengukur salinitas
c. Toleransi
Salinitas
Alat-alat yang digunakan pada praktikum
Fisiologi Hewan Air pada materi Osmoregulasi mengenai toleransi salinitas,
yaitu:
Ø
Toples
2L : sebagai media pengamatan ikan
Ø
Timbangan
digital : untuk menimbang berat badan ikan,
lele, dan zebrafish sebagai Wo dan Wt dengan ketelitian
10-2
Ø
Stopwatch : untuk menghitung waktu pengamatan
Ø
Nampan : sebagai tempat alat dan bahan
Ø
Refraktometer : untuk mengukur salinitas yang diperlukan
Ø
Lap
basah : untuk tempat ikan agar ikan tetap
basah (hidup) pada saat mengambil ikan dari bak ke toples
Ø
Bak
air : tempat ikan sebelum diamati
Ø
Plastik : sebagai alas pada saat menimbang
ikan
2.2.2. Fungsi Bahan
a. Toleransi pH
Bahan-bahan yang digunakan pada praktikum
Fisiologi Hewan Air pada materi Osmoregulasi mengenai toleransi pH, yaitu:
Ø Ikan nila (Oreochromis niloticus): sebagai objek yang akan diamati
Ø Air tawar : sebagai media ikan
Ø NaOH : untuk meningkatkan pH
Ø Cuka : untuk menurunkan Ph
b.
Pengamatan Empedu
Bahan-bahan yang digunakan pada praktikum
Fisiologi Hewan Air pada materi Osmoregulasi mengenai pengamatan empedu, yaitu:
Ø Empedu sapi : sebagai objek yang akan diamati
Ø Air tawar : sebagai media empedu sapi
Ø NaCl : sebagai pengkondisian salinitas air
Ø Karet gelang : untuk mengikat empedu
c.
Toleransi
Bahan-bahan yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan
Air pada materi Osmoregulasi mengenai toleransi salinitas, yaitu:
Ø Ikan nila (Oreochromis niloticus): sebagai objek yang akan diamati
Ø Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus): sebagai objek yang akan diamati
Ø Ikan zebra (Dascyllus melanorus): sebagai objek yang akan diamati
Ø Air tawar : sebagai media ikan
Ø Air laut : sebagai media ikan
3. DATA
HASIL PENGAMATAN
3.1. Toleransi pH
Kel
|
11
|
12
|
13
|
14
|
15
|
16
|
17
|
18
|
19
|
110
|
Wo
|
Wt
|
1
|
78
|
85
|
91
|
97
|
98
|
82
|
95
|
98
|
92
|
96
|
41
|
42
|
2
|
90
|
96
|
113
|
104
|
103
|
89
|
99
|
101
|
100
|
94
|
19
|
19
|
3
|
86
|
64
|
74
|
81
|
82
|
87
|
85
|
72
|
82
|
81
|
26
|
25
|
4
|
96
|
93
|
111
|
109
|
108
|
120
|
101
|
96
|
105
|
116
|
18
|
20
|
5
|
3
|
3
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
25
|
27
|
6
|
31
|
34
|
65
|
81
|
99
|
111
|
116
|
123
|
120
|
136
|
31
|
36
|
7
|
35
|
91
|
83
|
85
|
81
|
83
|
112
|
112
|
102
|
110
|
48
|
48
|
8
|
128
|
138
|
129
|
126
|
93
|
140
|
89
|
97
|
124
|
116
|
28
|
29
|
9
|
56
|
43
|
40
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
15
|
23
|
23
|
10
|
10
|
4
|
1
|
4
|
7
|
5
|
1
|
-
|
-
|
-
|
17
|
19
|
3.2. Pengamatan Empedu
Kel
|
Wo
|
Wt
|
Keterangan
|
1
|
348
|
355
|
·
Warna
empedu agak kehijauan
·
Warna
air menguning
·
Empedu
tetap di dasar
·
Empedu
mengembang
|
2
|
500
|
511
|
·
Warna
empedu putih pucat
·
Terdapat
warna biru keunguan pada bagian atas dan kuning pada pinggirannya
·
Bentuknya
lebih besar saat sebelum dimasukkan dalam air
·
Terdapat
urat-urat / lebih tampak menonjol
·
Warna
airnya menjadi kuning pudar
·
Empedu
tenggelam / terdapat di dasar
|
3
|
399
|
405
|
·
Empedu
bertambah besar, air bagian permukaan berwarna kuning (40 menit)
·
Air
permukaan semakin kuning, empedu agak turun, ukurannya mengembang (80 menit)
·
Air
permukaan semakin kuning, ukurannya empedu bertambah (2 jam)
|
4
|
273
|
278
|
·
Empedu
masih mengambang, warna tetap (30 menit)
·
Empedu
masih mengambang, warna agak kuning (60 menit)
·
Empedu
masih mengambang, warna kuning lebih banyak (2 jam)
|
5
|
246
|
253
|
·
Empedu
membesar dan tetap melayang
·
Kondisi
terakhir air berwarna kuning kehijauan
|
6
|
128
|
136
|
·
Cairan
empedu dari dalam keluar sehingga warna air menguning
·
Empedu
membesar dan naik sedikit kemudian selang waktu lagi turun kembali
·
Kondisi
air terakhir berwarna kuning
|
7
|
509
|
518
|
·
Empedu
masih mengambang, warna air bening
·
Empedu
masih mengambang, warna air agak kuning (18.30 menit)
·
Empedu
masih mengambang, warna air lebih kuning (2 jam)
|
8
|
316
|
323
|
·
Air
kekuningan
·
Terdapat
cairan kuning menempel di lapisan empedu
·
Ukuran
semakin membesar
|
9
|
337
|
345
|
·
Empedu
bertambah besar (mengembang)
·
Air
berwarna kuning
·
Warna
empedu putih pucat, agak kehijauan
|
10
|
293
|
299
|
·
Air
permukaan warnanya kuning kehijauan
·
Ukuran
empedunya bertambah besar
·
Empedu
menjadi lembek
|
3.3. Toleransi Salinitas
Ikan Nila
Kel
|
Waktu
|
Tingkah Laku Ikan
|
Wo
|
Wt
|
1
|
09.00
|
Ikan nila bergerak aktif, tetapi gerak buka mulut dan
insang cepat. Pada 1 jam berikutnya ikan nila diam di tempat, gerak buka
mulut dan insang semakin melambat
|
21
|
22
|
2
|
08.10
|
Pada menit 11 pertama ikan nila berenang dengan normal
pada dasar, setelah 2 jam berikutnya ikan nila mulai berada di permukaan
|
39
|
39
|
3
|
08.05
|
Ikan di dasar, bernafas lambat (08.05), (09.45) membuka
mulut lebih cepat
|
21
|
22
|
4
|
08.10
|
Ikan nila pada menit pertama pasif setelah menit ke-12
ikan nila aktif pergerakannya. Di menit 30 ikan lebih aktif, tetapi setelah 1
jam ikan pasif kembali, begitu seterusnya aktif dan pasif.
|
28
|
29
|
5
|
08.18
|
Mata berwarna hitam, pertama tidak bergerak, diam di
bawah. Warna kulit cerah, 30 menit kemudian ikan berenang aktif naik turun,
warna mata agak orange.
|
21
|
21
|
6
|
08.10
09.00
|
Ikan nila tidak begitu agresif, posisi ikan naik turun
dan sisiknya mulai mengelupas
Sirip
pada ekornya rusak, pada menit ke-51 ikan berenang ke atas dan pada menit
ke-67 ikan tenang
|
31
|
31
|
7
|
08.39
|
Ikan
bernafas ke bawah mengeluarkan gelembung
|
35
|
34
|
8
|
08.15
|
Ikan nila pada menit pertama bergerak aktif, buka mulut
cepat pada jam 08.35 ikan masih bergerak aktif tetapi gerak buka mulut
melambat dan air menjadi agak keruh pada jam 10.35 ikan bergerak menjadi
aktif, bukaan mulut juga normal tetapi warna ikan menjadi agak pucat
|
19
|
26
|
9
|
08.05
09.05
11.00
|
Pada
awal pengamatan bukaan mulutnya cepat lalu pada menit 01.21 detik bukaan
mulut lebih lambat, ikan berenang aktif pada menit 25.31 detik
Ikan bernafas di permukaan air dan terdapat gelembung
di permukaan air
Ikan lebih aktif bernafas mengambil O2 di
permukaan air
|
27
|
26
|
10
|
08.15
|
Ikan mengalami pendarahan pada mata dan berwarna merah,
kemudian mata ikan nila menjadi putih, lalu ikan mati pada jam ke- 01.25
menit
|
29
|
32
|
Ikan lele
Kel
|
Waktu
|
Tingkah Laku Ikan
|
Wo
|
Wt
|
2
|
08.10
|
Pada menit 11 pertama ikan lele berenang secara agresif
dan banyak berada di permukaan untuk bernafas dan pada menit ke-24 ikan
sering berada di dasar. Dan pada waktu 01.02.05 ikan lele mati
|
68
|
69
|
4
|
08.10
|
Ikan lele pasif, setelah 12 menit lele mulai pasif dan
diam. Menit ke-44 ikan lele aktif kembali dengan kondisi air semakin keruh.
Ikan lele mati setelah 1 jam 17 menit
|
61
|
59
|
6
|
08.10
09.05
09.10
|
Ikan lele bergerak agresif (meloncat) pada menit ke-2
operculumnya lambat karena ikan bergerak tenang. Pada menit ke-16 ventralnya
memerah. Pada menit ke-51 ikan lele mulai melemah. Dan air semakin keruh
karena lendir yang keluar
Ikan lele bergerak sedikit dan mulutnya terbuka
Ikan mati
|
68
|
67
|
8
|
08.15
08.55
09.30
|
Ikan lele bergerak pasif, pada menit ke-10 kulit ikan
lele mulai mengelupas. Warna kulit mulai memerah. Pada menit ke-15 mulai
lemas. Air semakin keruh pada menit ke-35
Keluar gelembung dari mulut sebelah samping. Ikan
semakin lemas
Ikan mati
|
41
|
40
|
10
|
08.15
|
Ikan mengalami pendarahan pada ekor dan operculum.
Setelah itu, ikan mengalami pengelupasan kulit pada ikan dan mati pada menit
ke-15
|
59
|
60
|
Ikan Zebra
Kel
|
Waktu
|
Tingkah Laku Ikan
|
Wo
|
Wt
|
1
|
09.00
|
Pada awal pengamatan mulut dan insang masih melakukan
gerak tapi secara lambat. Pada pukul 10.01 ikan zebra berwarna pudar dan mati
|
3
|
4
|
3
|
08.55
|
Ikan mati jam 08.55
|
2
|
3
|
5
|
08.18
|
Ikan mati
|
2
|
2
|
7
|
08.09
|
Warna sangat pudar dan mati
|
4
|
5
|
9
|
08.05
|
Pada awal pengamatan bukaan mulut ikan cepat dengan
posisi tubuh miring. Bukaan mulut ikan lebih cepat pada menit ke-07.15. Ikan
berenang aktif dan naik ke permukaan pada menit ke-22.10. Ikan mulai colaps
pada menit 45.29 detik. Dan pada menit 50.40 detik ikan mati. Dan menit ke
52.26 detik hingga waktu habis kulit ikan perlahan mengelupas dan keluar
lendir
|
2
|
2
|
4. PEMBAHASAN
4.1. Analisa Prosedur
4.1.1. Toleransi pH
Pada praktikum Fisiologi Hewan Air dalam materi
Osmoregulasi tentang toleransi pH langkah pertama yang harus dilakukan
disiapkan alat dan bahannya. Alat-alat yang digunakan adalah toples kapasitas 2
liter berfungsi sebagai tempat ikan dan air, timbangan digital untuk menimbang
berat ikan nila (Oreochromis niloticus)
sebagai Wo dan Wt, hand tally counter sebagai alat untuk
menghitung jumlah bukaan mulut ikan, stopwatch untuk menghitung waktu yang dibutuhkan,
nampan sebagai tempat aalt dan bahan, pH meter untuk mengukur pH air, dan
plastik sebagai alas pada saat menimbang ikan, serta ember sebagai tempat ikan.
Bahan yang digunakan adalah ikan nila (Oreochromis
niloticus) sebagai obyek yang diamati toleransinya terhadap pH, NaOH untuk
menaikkan pH, air sebagai tempat ikan.
Langkah selanjutnya toples diisi dengan air sebanyak 3/4
bagian. Digunakan toples agar lebih efisien dan mempermudah pengamatan,
diisi 3/4 bagian toples agar air dalam toples tidak tumpah
dan agar terdapat difusi O2 dari udara. Kemudian ikan nila (Oreochromis niloticus) dimasukkan ke
dalam toples tersebut dengan pH sesuai perlakuan kelompok (1 dan 6 pH=5, 2 dan
7 pH=7, 3 dan 8 pH=9, 4 dan 9 pH=11, 5 dan 10 pH=13), yang sebelumnya ditimbang
dengan timbangan digital agar hasil lebih akurat. Selanjutnya dihitung bukaan
mulutnya tiap menit sebanyak 10 kali sebagai perbandingan antara menit pertama
dengan menit selanjutnya agar hasil yag didapat akurat. Dan terakhir ikan nila
(Oreochromis niloticus) ditimbang
kembali dengan menggunakan timbangan digital. Dicatat hasilnya.
4.1.2. Pengamatan Empedu
Pada praktikum Fisiologi Hewan Air dalam materi
osmoregulasi mengenai pengamatan empedu, langkah pertama yang harus dilakukan
adalah disiapkan alat dan bahan. Aalt-alatnya yaitu toples berkapasitas 2 liter
sebagai wadah empedu dan air (medium pengamatan), timbangan digital yang
berfungsi sebagai menimbang berat empedu, stopwatch untuk mengukur waktu saat
pengamatan, nampan untuk tempat alat dan bahan, refraktometer untuk alat
pengukur salinitas, plastik sebagai alas pada saat menimbang. Bahannya yaitu
empedu sapi sebagai objek yang akan diamati, empedu sapi itu selektif memiliki
lapisan semipermeabel sehingga mudah untuk diamati, air tawar sebagai media
pengamatan empedu, NaCl sebagai bahan untuk membuat larutan dengan salinitas 450/00,
karet gelang untuk mengikat empedu, tissue untuk membersihkan lensa
refraktometer.
Langkah selanjutnya toples diiisi air sampai 3/4
bagian kemudian NaCl ditimbang dengan menggunakan timbangan digital.
Digunakannya timbangan digital agar didapat hasil yang akurat. Kemudian empedu
sapi ditimbang juga sebagai Wo untuk mengetahuiberat empedu sebelum
diberi perlakuan, empedu sapi dimasukkan ke dalam toples yang berisi air yang
bersalinitas sesuai dengan kelompok (1 dan 6 0ppt, 2 dan 7 15ppt, 3 dan 8
30ppt, 4 dan 9 45ppt, 5 dan 10 60ppt). Setelah itu empedu diamati perubahannya
tiap 15 menit selama 2 jam karena diasumsikan selama 2 jam telah terjadi proses
osmoregulasi. Terakhir, empedu ditimbang sebagai Wt untuk mengeahui
berat empedu setelah diberi perlakuan dengan menggunakan timbangan digital dan
dicatat hasilnya.
4.1.3.
Toleransi Salinitas
Pada praktikum Fisiologi Hewan Air materi Osmoregulasi
tentang toleransi salinitas, langkah pertama yang dilakukan adalah menyiapkan
alat dan bahan yang akan digunakan. Adapun alat-alat yang digunakan adalah
toples kapasitas 2 liter sebagai tempat ikan dan air, refraktometer untuk
mengukur salinitas air, stopwatch untuk mengukur waktu pengamatan, timbangan
digital untuk menimbang berat ikan dengan ketelitian 0,01 gram dan nampan untuk
tempat alat dan bahan. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan adalah ikan nila (Oreochromis niloticus), ikan zebra (Dascyllus melanurus), dan ikan lele (Clarias gariepinus) sebagai objek yang
akan diamati toleransinya terhadap salinitas, air tawar sebagai media hidup
ikan, air laut sebagai media hidup ikan, plastik sebagai alas timbangan dan
tissue untuk membersihkan lensa refraktometer.
Setelah alat dan bahan siap, langkah selanjutnya adalah
toples disiapkan dan diisi air ¾ bagian dengan tujuan agar air tidak tumpah
saat ikan dimasukkan dan agar oksigen dapat masuk ke dalam toples. Tujuan
penggunaan toples karena mudah didapat, mudah dalam pengamatan karena
transparan, mudah dibawa dan harganya ekonomis. Kemudian diukur salinitas
dengan refraktometer. Penggunaan refraktometer yaitu pertama mengkalibrasi
lensa refraktometer menggunakan aquades, tujuan dikalibrasi adalah agar lensa
refraktometer tidak terkontaminasi larutan lain. Kemudian dibersihkan dengan
tissue secara searah agar lensa tidak tergores. Lalu ikan disiapkan dan
ditimbang menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,01 gram agar
mendapatkan nilai yang akurat. Cara penggunaan timbangan yaitu menyalakan
timbangan dan menzerokan timbangan kemudian meletakkan ikan diatas timbangan
yang telah dialasi dengan plastic dan dicatat berat awal (W0) ikan.
Setelah itu ikan dimasukkan ke dalam toples dan diberi perlakuan yang
berbeda-beda tiap kelompok yaitu kelompok genap diberi air laut dan dimasukkan
ikan nila (Oreochomis niloticus) dan
ikan lele (Clarias gariepinus)
sedangkan kelompok ganjil diberi air tawar dan dimasukkan ikan nila (Oreochromis niloticus) dan ikan zebra (Dascyllus melanurus). Menggunakan ikan
nila (Oreochromis niloticus) mewakili
ikan euryhaline dan ikan lele (Clarias
gariepinus) mewakili ikan stenohaline. Setelah itu diamati tingkah laku
ikan dan perubahan yang terjadi selama 3 jam untuk mengetahui kepekaan
osmoregulasi terhadap salinitas. Kemudian ikan ditimbang kembali dengan
timbangan digital ketelitian 0,01 gram dan dicatat sebagai berat akhir (Wt)
untuk mendapatkan berat akhir ikan setelah diberi perlakuan. Langkah terakhir
dicatat hasil yang diperoleh dan dibersihkan alat dan bahan.
4.2 Analisa Hasil
4.2.1 Toleransi pH
Pada praktikum Fisiologi
Hewan Air materi Osmoregulasi tentang toleransi pH hasil yang didapatkan pada
kelompok 4 yaitu dengan W0 = 18 gram dan Wt = 20 gram
dimana mendapat perlakuan pH 11, diperoleh hasil bukaan mulut pada menit
pertama 96, pada menit kedua 93, pada menit ketiga 111, pada menit keempat 109,
pada menit kelima 108, pada menit keenam 120, pada menit ketujuh 101, pada
menit kedelapan 96, pada menit kesembilan 105 dan pada menit terakhir 116. Setelah
dilakukan pengamatan pada ikan nila (Oreochromis
niloticus) didapatkan W0 yang mulanya 18 gram menjadi 20 gram
yang berarti ada kenaikan berat. Hal tersebut menandakan bahwa proses
osmoregulasi dapat berlangsung dengan lancer.
Hubungan pH pada budidaya
ikan menunjukkan titik kematian asam dan alkaline sekitar pH 4 dan pH 11
(Swingle, 1961 dalam Boyd,1992). Air
dengan nilai pH dengan range 6.5 sampai 9 paling sesuai untuk produksi.
Reproduksi berkurang pada nilai pH di bawah 6.5 (Andayani, 2005).
pH air mempengaruhi tingkat
kesuburan perairan karena mempengaruhi kehidupan jasad renik. Perairan asam
akan kurang produktif, malah dapat membunuh hewan budidaya. Pada pH rendah
(keasaman yang tinggi) kandungan oksigen terlarut akan berkurang, sebagai akibatnya
konsumsi oksigen menurun, aktivitas pernafasan naik dan selera makan akan
berkurang. Hal yang sebaliknya terjadi pada suasana basa. Atas dasar ini, maka
usaha budidaya perairan akan berhasil baik dalam air dengan pH 6,5-9,0 dan
kisaran optimal adalah pH 7,5-8,7 (Kordi dan Andi, 2007).
Sedangkan pada kelompok 9
dengan perlakuan pH yang sama diperoleh hasil bukaan mulut pada menit pertama
56, pada menit kedua 43, pada menit ketiga 40, lalu pada menit keempat sampai
kedelapan ikan tidak melakukan bukaan mulut. Kemudian menit kesembilan 1 dan
pada menit kesepuluh 15 bukaan mulut dengan W0 sama dengan Wt
yaitu 23 gram.
Menurut Boyd (1982),
hubungan antara pH di dalam suatu budidaya ikan berlumpur. Asam dan alkalinitas
untuk tingkat kematian dari ikan kisaran pH 4 dan 11, bagaimanapun jika air
lebih asam dari pH 6,5 atau alkalinitas lebih dari pH 9-9,5 dengan jangka waktu
yang cukup lama. Reproduksi dan pertumbuhan akan berkurang disebabkan oleh pH
yang sangat tinggi pada ikan berlumpur, artinya kawasan resapan air di danau
dan sungai mengalami pengasaman dalam kejadian yang panjang pada suatu perairan
dan kenaikan yang tinggi dikarenakan adanya percampuran asam yang berdampak
bagi populasi ikan di area tertentu, di negara Eropa dan Amerika Utara.
Pada praktikum Fisiologi Hewan Air materi Osmoregulasi
mengenai pengamatan empedu, pada kelompok 4 diperoleh hasil pengamatan dengan
salinitas 45 ppt didapat berat awal (W0) empedu 273 gram dan berat
akhir (Wt) empedu 278 gram. Dari hasil pengamatan selama 2 jam
diperoleh hasil pada 30 menit pertama empedu masih mengambang pada permukaan
air dan warna air masih belum berubah (tetap). Pada menit ke 60 terjadi
perubahan yaitu empedu masih mengambang dan warna air agak kuning yang
menandakan bahwa proses osmoregulasi berlangsung. Dan setelah diamati sampai
batas waktu yang ditentukan atau 2 jam, empedu masih mengambang dan warna air
menjadi kuning di permukaannya. Sedangkan pada pengamatan empedu kelompok 9
didapatkan hasil berat awal empedu (W0) 337 gram dan berat akhir (Wt)
empedu 345 gram dengan salinitas yang sama dengan kelompok 4 yaitu 45 ppt. Dari
hasil pengamatan diperoleh hasil empedu bertambah besar, air berwarna kuning
dan warna empedu putih ptcat agak kehijauan.
Menurut Banks (1981)
dalam Yulfitrin (2003), komposisi cairan empedu terdiri dari air, zat
organik dan zat anorganik. Pigmen empedu terdiri dari dua bentuk yaitu
billirubin yang berwarna kuning dan biliverdin yang berwarna hijau.
Menurut Kimball (1998), osmosis adalah difusi dari tiap
pelarut melalui suatu selaput yang permeable secara diferensial. Membran sel
yang meloloskan molekul tertentu, tetapi menghalangi molekul lain dikatakan
permeable secara diferensial.
4.2.3 Toleransi Salinitas
Pada praktikum Fisiologi Hewan Air materi Osmoregulasi
mengenai toleransi salinitas didapatkan hasil pada kelompok 4 yang menggunakan
ikan nila (Oreochromis niloticus) dan
ikan lele (Clarias gariepinus) yang
diletakkan pada air laut untuk mengetahui toleransinya pada salinitas yang
tinggi. Pada pengamatan yang dilakukan selama 3 jam dimulai dari pukul 08.10,
ikan nila (Oreochromis niloticus)
pada menit pertama pasif atau tidak melakukan pergerakan. Namun setelah menit
ke-12 ikan nila (Oreochromis niloticus)
aktif pergerakannya. Kemudian di menit ke-30 ikan lebih aktif lagi
pergerakannya tetapi 1 jam setelahnya ikan pasif kembali, dan begitu seterusnya
hingga waktu pengamatan selesai. Sedangkan pada ikan lele (Clarias gariepinus) yang mulai diamati pada jam yang sama, setelah
dimasukkan ke dalam toples yang berisi air laut pergerakannya aktif. Namun
setelah 12 menit ikan mulai pasif dan diam. Pada menit ke-44 ikan aktif kembali
dengan kondisi air semakin mengeruh. Kemudian ikan lele (Clarias gariepinus) mati setelah 1 jam 17 menit.
Dibandingkan dengan kelompok 2 yang memberi perlakuan
sama yaitu ikan nila (Oreochromis
niloticus) dan ikan lele (Clarias
gariepinus) yang dimasukkan ke dalam air laut. Pada ikan nila (Oreochromis niloticus) yang diberi
perlakuan mulai pada pukul 08.10, pada menit 11 pertama ikan berenang dengan
normal pada dasar, setelah 2 jam berikutnya ikan mulai berada di permukaan.
Sedangkan ikan lele (Clarias gariepinus)
pada menit 11 pertama ikan berenang secara agresif dan banyak berada di
permukaan untuk bernafas dan pada menit ke-24 ikan sering berada di dasar. Dan
pada waktu 01.02.05 ikan mati. Dengan W0 ikan nila (Oreochromis niloticus) 39 gram dan Wt
ikan nila (Oreochromis niloticus) 39
gram, sedangkan W0 ikan lele (Clarias
gariepinus) 68 gram dan Wt 69 gram.
Dari pengamatan kedua ikan tersebut didapatkan hasil
bahwa ikan nila (Oreochromis niloticus)
lebih dapat bertahan pada salinitas yang tinggi dibandingkan dengan ikan lele (Clarias gariepinus) yang berarti daya
adaptasi ikan nila (Oreochromis niloticus)
lebih tinggi daripada ikan lele (Clarias
gariepinus) karena ikan nila (Oreochromis
niloticus) termasuk ikan euryhaline sedangkan ikan lele (Clarias gariepinus) termasuk ikan
stenohaline.
Ikan nila bisa tumbuh dan berkembangbiak pada kisaran
salinitas 0-29 ‰ (permill). Jika kadar garamnya 29-35 ‰, ikan nila bisa tumbuh,
tetapi tidak bisa berproduksi. Ikan nila yang masih kecil atau benih biasanya
lebih cepat menyesuaikan diri dengan kenaikan salinitas dibandingkan dengan
nila yang berukuran besar (Amri dan Khairuman, 2008).
Di awal pemeliharaan di tambak, ikan nila hasil adaptasi
dari air tawar (0 ppt) ke air asin (30 ppt) mengalami pertumbuhan yang lambat.
Hal ini disebabkan pada minggu awal atau bulan pertama, ikan nila masih dalam
penyesuaian terhadap kondisi lingkungan. Ikan nila yang dipindahkan dari air
tawar ke air laut atau air payau, akan mengalami osmoregulasi karena
konsentrasi senyawa-senyawa dalam darah, juga tekanan osmotik darahnya berbeda
dengan lingkungan air laut (Kordi dan Andi, 2007).
4.3 Faktor Koreksi
Faktor – factor kesalahan yang ada saat praktikum
Fisiologi Hewan Air mengenai materi Osmoregulasi :
4.3.1 Toleransi Ph
-
Kekurangan ketelitian praktikan saat menghitung bukaan
mulut ikan.
-
Adanya
perbedaan yang cukup jauh antara kelompok 4 dan kelompok 9 pada hasil
perhitungan bukaan mulut ikan padahal menggunakan Ph yang sama.
-
Dapat
dimungkinkan saat ikan di beli, keadaan ikan sedang sakit.
-
Dimungkinkan
juga karena berat pada ikan semakin berat mungkin ketahanan tubuhnya juga lebih
kuat.
4.3.2 Pengamatan Empedu
-
Kurangnya
kehati – hatian praktikan saat memasukkan empedu kedalam air yang seharusnya
empedu ditimbang terlebih dahulu.
-
Bisa
jadi dari factor empedu yang kualitasnya kurang baik.
-
karang
ketelitian praktikan saat mengamati perubahan empedu jadi data yang dihasilkan
kurang teliti.
-
kurangnya
perhatian praktikan saat mendengarkan penjelasan si asisten.
4.3.3 Toleransi Salinitas
-
Kurangnya
ketelitian saat mengamati tingkah laku ikan nila (Oreochromis nilotikus) dan ikan lele (Clarias gariepinus).
-
Saat
melakukan pengamatan karena ikannya diam jadi praktikan mengganggu ikan dan itu
kesalahan mestinya tidak boleh di ganggu.
4.4 Manfaat Dibidang
Perikanan
Manfaat yang di dapatkan setelah adanya praktikum
Fisiologi Hewan Air tentang materi Osmoregelasi antara lain :
-
Kita
dapat mengetahui tentang proses osmoregulasi ikan yang di contohkan dengan
empedu.
-
Dapat
mengetahui perbandingan ketahanan tubuh ikan nila (Oreochomis niloticus),
lele (Clarias gariepinus) dan ikan
zebra (Dascylus mellanurus).
-
Saat
akan melakukan pembudidayaan ikan, kita dapat mengetahui kisaran pH yang cocok
untuk ikan yang akan kita budidayakan.
-
Dapat
mengetahui salinitas yang baik untuk ikan.
5. KESIMPULAN
dan SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari praktikum tentang osmoregulasi
yang telah dilakukan, mendapatkan kesimpulan, yaitu :
-
Hasil
dari toleransi ph pada kelompok 4 saat 1 menit pertama = 96; 1 menit k2 = 93; 1
menit ke 3 = 111; 1 menit ke 4 = 109; 1 menit ke 5 = 108; 1 menit ke 6= 120
; 1 menit ke 7 = 101 , 1 menit ke 8 = 96
; 1 menit ke 9 = 105 ; 1 menit ke 10 = 116.
-
Pengertian
Osmosis adalah difusi aliran substansi – substansi melalui suatu membrane yang
cukup permeable.
-
Difusi
adalah penyebaran molekul – molekul suatu zat baik gas, maupun zat cair dan zat
padat.
-
Hewan
vertebrata air yang hidup di laut memiliki permasalahan tekanan osmotic yang
berbeda.
-
Ikan
yang digunakan adalah ikan nila (Oreochromis
niloticus), ikan lele (Clarias
gariepinus) dan ikan zebra ( Dascyllus
mellanurus ).
-
Proses
Osmoregulasi ada ikan elasmobranchi dan ikan Teleostei.
-
Berat
pada pengamatan empedu bub = 273 Wt = 278.
-
Pada
pengamatan toleransi salinitas Nila ( Oreochromis
niloticus ) Wt = 28 , Wt = 29.
-
Pada
pengamatan toleransi salinitas Lele ( Clarias
gariepinus ) 61 , Wt = 59.
5.2 Saran
Disarankan bagi praktikan
agar lebih mematuhi tata tertib dan peraturan – peraturan saat praktikum.
Disarankan bagi asisten memberikan
penjelasan yang lebih jelas agar saat post test dapat mengerjakan dengan baik
dan benar.
DAFTAR PUSTAKA
Amri, K. dan Khoiruman. 2008. Budidaya Ikan Nila Secara Intensif.
Agromedia Pustaka. Jakarta.
Andayani, S. 2005. Diktat Kuliah Manajemen Kualitas Air untuk Budidaya Perikanan. Universitaa
Brawijaya. Malang.
Boyd and E. Claude . 1982. Water Quality Management For Pond Fish Culture. Elserier.
Nederland.
Chan, R. 2011. Pola Regulasi Ion dan Air Pada Ikan. http://waresman.blogspot.com. Diakses pada tanggal 21 Maret 2011
pukul 09:10 WIB.
Evans and H. David . 1993. The Physiologi Of Fishes. CRCpress. Boca Raton.
Hazan and Neil. 2003. Urea Based Osmoregulation and Endocrine Control in Elashmobranch Fish
With Spesies Reference to Euryhalinity. Comparative Biochemistry and
Physiology.
Isnaeni, W. 2006. Fisiologi Hewan. Canisius . Yogyakarta.
Jefrri. 2010. Aquakultur Anatomy dan Biologi Ikan. http://jeffri022.student.UMM.ac.id/2010/05/29/anatomidan/ikan/BiologiIkan/ Diakses 21 Maret pukul 09:15 WIB.
Kimball and W. Jhon . 1994. BIOLOGI edisi ke5 Jilid 2. Erlangga. Jakarta.
Kordi dan Andi. 2002. Pengelolaan Kualitas Air dalam Budidaya
Perairan. Rineka Cipta. Jakarta.
Kordi, M.G. 2008. Budidaya Perairan. PT.Cipta Adityo Bakti. Bandung.
Muslihun.2007.Osmoregulasi.http://www.urjahisnis.com/2009/12/osmoregulasi.html Diakses pada tanggal 21 Maret 2011
pukul 09:00 WIB.
Rudi dan M.Muchlis. 2006. Pengaruh Pemberian Cairan Ringer Laktat Dibandingkan Nacl 0,9% Terhadap
Keseimbangan Asam Basa Pada Pasien Sectio Caeseria dengan Anestesi Regional.
Sukarto, S. 1994. Fisiologi Tumbuhan. Universitas Brawijaya. Malang.
Susiolo, U. 2005. Osmoregulation Of Anguilla Bicolor Mc Cell and in The Media With
Differt Siddining. Fukultas Biologi Universitas Jendral Sudirman.
Purwokerto.
Villee, Claude, W. Waller, JR. Robert
and J. Barhes. 1984. Zoologi. New York.
Yulfitrin. 2003, Isolasi Taurin Dari Cairan Empedu Sapi. Istitute Pertanian. Bogor.
Yuwono E dan S. Purnomo . 2001. Fisiologi Hewan Air. Cv.Sagung Seto. Jakarta.
No comments:
Post a Comment