Laporan Praktikum Fisiologi Hewan Air
SISTEM PENCERNAAN
R.Adhariyan Islamy (0910810063)
Malang, 25 Juni 2011
Mengetahui,
Koordinator
Asisten
Danang Ferry P.
NIM.
0810850034
|
Menyetujui,
Dosen
Pengampu Mata Kuliah
DR. Ir. Agoes Soeprijanto, MS
NIP.
195908071986011001
|
KATA PENGANTAR
Segala puja dan puji
syukur ke hadiran Allah SWT. atas terselesainya praktikum
dan penulisan laporan dari mata kuliah Fisiologi Hewan Air. Rasa terima kasih
yang sebanyak- banyaknya kami ucapkan kepada :
1. Orang tua kami tercinta, yang selalu memberi doa dan
semangat, serta dorongan,
2. Dosen mata kuliah Fisiologi Hewan Air, atas bimbingan dan
ilmu yang bermanfaat yang diberikan kepada kami,
3. Para asisten praktikum Fisiologi Hewan Air, yang telah
membimbing dalam kegiatan praktikum ini,
4. Teman- teman MSP`09, atas kerja sama dan kekompakannya selama ini, serta
5. Semua pihak yang banyak membantu yang tidak bisa kami
sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa
penulisan ini jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu, kritik dan saran yang
bermanfaat dari pembaca sangatlah diharapkan. Penulis berharap semoga penulisan
laporan praktikum Fisiologi Hewan Air ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Malang, 25 Juni
2011
Penulis,
|
Abstract
Foods that are eaten by fish must proceed through the digestive system. A process called digestion is a series of processes where solids are broken down into the solution of organic molecules are relatively small and can be dissolved before it can be used by heterotrophic organisms. Mechanism of digestion of the mouth, oral cavity, throat cavity, esophagus from the mouth to the stomach (esiphagus), stomach, muscular stomach (gizzard), intestine and anus. Digestion may be intracellular, extracellular or both, bahkanpada animals having digestive tract. Intracellular digestion method described as primitive and its presence is usually regarded as an indication of the primitive species. At an extracellular digestion possible differences from the digestive tract, so that the enzyme secretion of food can be taken, as a warehouse and transport food and nutrients, chemical digestion, absorbs and formation of feces that can take place in specific regions. In the digestive sxstem in fish, feed the fish is easily digested whereas Chironomus feed contains the most good is tubifex.Key words: Digestion, feed, fish.
Abstrak
Makanan yang dimakan ikan harus diproses
melalui sistem pencernaan. Pencernaan adalah suatu proses dimana makanan padat
biasanya dipecah menjadi larutan molekul-molekul organik xang relative kecil
dan dapat larut sebelum dipakai oleh organisme heterotrofik. Mekanisme
pencernaan dimulai dari mulut, rongga mulut, rongga tenggorokan, saluran
makanan dari mulut ke perut (esophagus), perut, otot perut (gizzard), usus dan
anus. Pencernaan bisa berupa intraseluler, ekstraseluler atau keduanya,pada
beberapa binatang yang mempunyai saluran pencernaan. Pencernaan intraseluler
merupakan metode primitive dan biasanya dianggap sebagai indikasi dari spesies
yang primitive. Pada pencernaan ekstraseluler terdapat beberapa perbedaan,
yaitu enzim sekresi makanan dapat diambil, sebagai gudang dan transport makanan
serta nutrient, pencernaan kimia, penyerapan makanan dan pembentukan feses yang
dapat berlangsung di daerah khusus. Pada sistem pencernaan ikan, pakan yang
mudah dicerna oleh ikan adalah chironomous sedangkan pakan yang memiliki
kandungan nutrisi yang paling baik adalah tubifex.
Kata-kata kunci : Pencernaan,
pakan, ikan
1. PENDAHULUAN
1.1
Definisi
Pencernaan
Molekul pakan yang besar dan kompleks harus dipecah
menjadi molekul yang lebih kecil dan sederhana agar dapat di adsorbsi dan
selanjutnya digunakan dalam tubuh hewan, pemecahan molekul ini dilakukan dengan
cara pencernaan (Kimball, 1994).
Digesti merupakan proses yang diperlukan dalam nutrisi
heterotrofik. Dalam proses adsorbsi, molekul-molekul besar karbohidrat, protein,
lemak, dan protein dari bagian-bagian sel dan jaringan yang dikonsumsi harus
dipecah menjadi bagian-bagian yang kecil, seperti gula dan asam amino agar
dapat diangkat melalui membran sel. Biarpun transfer molekul besar itu melalui
membran, itu tidak merupakan masalah, tetapi senyawa organik yang disintesis
oleh suatu heterotrof sering kali tidak sama dengan senyawa yang dikonsumsi
sebagai makanan. Karena itu, sebelum didapatkan perakitan kembali diperlukan
digesti (Handajani dan Wahyu, 2010).
1.2
Pengertian
Daya Cerna Ikan pada Makanan
Setiap jenis ikan mempunyai daya cerna yang berbeda pada
nutrisi yang dikonsumsinya. Pada ikan salmon merupakan salah satu jenis ikan
karnivora yang rendah terhadap karbohidrat sehingga energi yang diperoleh dari
karbohidrat hanya dapat dicerna sebanyak 140%, sedangkan ikan Catfish merupakan
salah satu jenis ikan omnivora mempunyai kemampuan mencerna karbohidrat lebih
tinggi dibandingkan ikan karnivora, yaitu 70% (Wooton et al (1980) dalam
Haetami (2002).
Ikan telah lama mencarna makanannya, maka keadaan lambung
pada saat itu dalam keadaan yang kosong kembali, sehingga ikan yang sudah
menerima asupan pakan kembali. Jika pakan ikan yang dicerna berasal dari pakan
yang nabati, maka laju pengosongan ikan akan tergantung pada seberapa besar
ikan tersebut memakan pakan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Pakan yang
mengandung bahan ekstrak dari tumbuh-tumbuhan mengandung selulosa sehingga ikan
susah mencerna, sedangkan pakan yang berasal dari pakan hewani, proses pencernaannya
akan lebih mudah (Murtidjo,2001 dalam Rohmah, 2005).
1.3
Pengertian
Gastric Evacuation Time
Menurut Widell (1978)
dalam Haetami et al (2007),
sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, bahwa ada beberapa metode yang biasa
digunakan untuk mengkaji (meng-evaluasi) kinerja proses pencernaan, yakni :
1. Lama
internal waktu dari sejak ikan melakukan aktivitas makan hingga Feses yang
berasal dari makanan yang dikonsumsi di produksi,
2. Laju
pengosongan lambung, dan
3. Laju
penggerakan makanan dari saluran pencernaan melalui teknik radiografi.
Pada metode pertama, ikan diberi makan setiap hari dengan
jumlah makanan yang konstan selama satu jam. Pada suatu hari, makanan yang
biasa diberikan diganti dengan makanan yang diberi warna, misalnya (carrmin,
Cr2O atau bahan
pewarna lain). Laju pencernaan makanan ditentukan sebagai selang waktu
aktivitas antara saat pemberian makanan yang mengandung warna dan saat
munculnya Feses berwarna (Razin dan Mayer, dalam Kapoor, et al 1976). Umumnya, laju pencernaan
berkisar antara 8-24 jam. Pada metode kedua, dilakukan untuk pengosongan isi
lambung berhubungan erat dengan jumlah makanan yang konsumsi tipe atau struktur
makanan dan suhu lingkungan (Seyhan, 2003).
1.4
Organ
Pencernaan dan Fungsi
Menurut Triastuti et
al (2009), ada dua sumber penghasil enzim pada bagian usus, yaitu pankreas
(penghasil utama enzim) dan sel sekresi pada dinding usus. Enzim yang
disekresikan oleh pankreas ini adalah trypsin,
chimo trypsin, elastase, carboxypeptidase, amylase, chitinase, dan lipase. Trypsin merupakan enzim proteolitik utama dibagian usus, Chitinase terutama pada ikan-ikan
pemakan krustaqa. Lipase ditemukan
pada jenis ikan. Selain enzim-enzim diatas, cairan empedu yang disekresikan
oleh hati berperanan penting dalam pencernaan dibagian usus ini. Pada mamalia
cairan empedu terutama terdiri dari bilirubin
dan biliverdin yang berfungsi memecah
hemoglobin. Garam-garam empedu
berperan seperti detergen dan membantu mengemulasikan lemak sehingga
memungkinkan lemah untuk lebih mudah dicerna dengan bantuan enzim karena luas
partikel lemak meningkat.
Menurut Weichert (1959), kelenjar pencernaan pada ikan
terdiri hati dan pankreas. Kedua organ tersebut megekskresikan bahan yang
kemudian digunakan dalam proses pencernaan makanan. Bahan dari hasil sekresi
kedua organ tersebut akan masuk ke usus melalui saluran “ductus chole dochus” dan saluran “ductus pankreatikus”. Dengan adanya hubungan antara kelenjar
pencernaan dengan usus depan, maka letak dari kedua kelenjar tersebut berada
disekitar usus depan dan lambung. Hati merupakan organ penting yang
mengekskresikan bahan untuk proses pencernaan.
1.5 Proses Pencernaan (Protein, Lemak dan Karbohidrat)
Menurut Isnaeni (2006), proses pencernaan
secara lebih sempurna dan penyerapan sari makanan berlangsung di dalam usus. Di
usus, bahan makanan (karbohidrat, lipid dan protein) dicerna lebih lanjut
dengan bantuan enzim dan diubah menjadi berbagai komponen penyusunnya agar
dapat diserap dan digunakan secara optimal oleh hewan. Berikut proses pencernaan
karbohidrat, lipid dan protein.
-
Pencernaan
Karbohidrat
Di dalam mulut, karbohidrat dalam
makanan dicerna secara mekanik (dengan bantuan gigi) dan secara enzimatik (oleh
enzim ptyalin/amylase ludah). Selain mengandung enzim amylase, air ludah juga
berperan penting untuk membasahkan makanan sehingga mudah ditelan.
-
Pencernaan
Protein
Apabila dalam lambung terdapat
protein, sel dinding lambung akan menghasilkan gastrin, yaitu senyawa kimia
yang merangsang lambung untuk mengeluarkan HCl dari sel parietal, dan
pepsinogen dari sel kepala (chief cells).
Selanjutnya, enzim pemecah protein (proteolitik) akan menguraikan protein
dengan cara memutuskan ikatan peptide pada protein sehingga dihasilkan asam
amino.
-
Pencernaan
Lipid
Pencernaan lipid baru dimulai pada saat
bahan makanan sampai di usus. Pencernaan ini terjadi dengan bantuan enzim
lipase usus, lipase lambung dan lipase pankreas. Lipase akan menghidrolisis
lipid dan trigliserida menjadi digliserida, monogliserida, gliserida dan asam
lemak bebas. Lipase dalam bentuk zimogen (prolipase) akan diaktifkan oleh
protein khusus dari sel epitel usus (disebut kolipase) sehingga dapat memecah
lipid menjadi asam lemak.
Menurut Marsland (1945), saluran
pencernaan seperti vertebrata pada umumnya adalah sistem tubular, memiliki
sejumlah karakteristik dan komposisi dari beberapa bagian. Makanan yang
tertelan melalui mulut ke dalam rongga mulut, dimana itu dikunyah dan dicampur
dengan air liur. Kemudian makanan ditelan dan berlalu dengan cepat melalui
kerongkongan pharynx pendek dan
panjang ke perut.
Menurut Yuwono dan Purnama (2001),
pencernaan protein oleh enzim protease yang terdiri dari enzim eksopeptidase.
Enzim tersebut terdapat pada hewan avertebrata dan vertebrata yang hidup di
perairan. Pencernaan lemak oleh lipase juga terdapat pada hewan avertebrata dan
vertebrata. Pencernaan karbohidrat, hidrolisis oleh amilase, katalisis dan
sukrose, prosesnya serupa pada hewan avertebrata dan vertebrata. Pencernaan
selulosa memerlukan selulosa yang dihasilkan oleh bakteri simbiotik.
1.6
Proses Pencernaan (Fisika dan Kimia)
Menurut Yuwana dan Purnama (2001),
berdasarkan perangkat yang digunakan pencernaan pada hewan terjadi secara
mekanik dan kimiawi.
1.
Pencernaan
mekanik menggunakan taring misalnya pada ikan untuk menggigit. Beberapa hewan
air juga menggunakan gigi untuk menggigit dan mengoyak pakan misalnya pada ikan
lele. Struktur tembolok pada hewan air (pada ikan dan udang) juga digunakan
untuk pencernaan mekanik. Sebanyak 85% ikan teleostei memiliki lambung yang
digunakan untuk pencernaan mekanik.
2.
Pencernaan
kimiawi melibatkan enzim (contohnya protease, lipase, amilase) sebagai
katalisator untuk mempercepat prosesnya. Dalam kondisi normal reaksi berjalan
lambat tetapi dengan hidrolisis dan kerja enzim reaksi kimia berjalan lebih
cepat. Pencernaan protein oleh enzim protease yang terdiri atas enzim
eksopeptidase dan endopeptidase. Enzim tersebut terdapat pada hewan avertebrata
dan vertebrata yang hidup di perairan. Pencernaan lemak oleh lipase juga
terdapat pada hewan avertebrata dan vertebrata. Pencernaan karbohidrat,
hidrolosis oleh amylase, katalisis
oleh sukrase, prosesnya serupa pada hewan avertebrata dan vertebrata.
Pencernaan selulosa memerlukan selulose yang dihasilkan oleh bakteri simbiotik.
Menurut Meitanisyah (2009), pencernaan
secara fisik dan mekanik dimulai dengan berperannya gigi pada proses pemotongan
dan penggerusan makanan. Pencernaan secara mekanik ini juga berlangsung di
segmen lambung dan usus terjadi lebih efektif oleh karena adanya peran cairan
digestif. Pada ikan, pencernaan secara kimiawi dimulai di bagian lambung hal
ini dikarenakan cairan digestif yang berperan dalam proses pencernaan secara
kimiawi mulai dihasilkan di segmen tersebut yaitu diekskresikan oleh kelenjar
lambung. Pencernaan ini selanjutnya disempurnakan di segmen usus. Cairan
digestif yang berperan pada proses
pencernaan di segmen usus itu sendiri.
Kombinasi antara aksi fisik dan kimiawi inilah yang menyebabkan
perubahan makanan dari yang asalnya bersifat kompleksmenjadi senyawa sederhana
atau yang asalnya berpartikel mikro inilah makanan menjadi zat terlarut yang
memungkinkan dapat diserap oleh dinding usus selanjutnya diedarkan ke seluruh
tubuh.
Empat komponen dari system enzim
proteolik yang dijelaskan untuk Helix telah diisolasi dari kelenjar midgut dari
kepiting Maia Squinodo. Protease ini
sangat mirip di alam dengan vertebrata triptic
protease. Protease dan polipeptidase ditemukan yang dikumpulkan dari perut dari
Astacus lobster. amylase dan maltase hadir dalam astacus. amylase dan maltase di lambung dari astacus dan protease, amylase dan lipase di usus daphnia
Cladocera (Scheer, 1945) .
1.7
Struktur dan Fungsi Saluran Pencernaan
Menurut Triastuti (2009), mencerna
makanan merupakan suatu proses di dalam tubuh yang menyederhanakan bahan-bahan
makanan yang berguna bagi tubuh. Sistem pencernaan meliputi organ yang
berhubungan dengan pengambilan makanan, mekanisnya dan penyedia bahan-bahan
kimia serta pengeluaran sisa makanan yang tidak tercerna daari tubuh. Beberapa
fungsi yang dilakukan oleh saluran pencernaan, yaitu :
1.
Mendorong
atau mengaduk isi dari gastrointestine
2.
Mensekresi
cairan-cairan pencernaan
3.
Mencerna
makanan
4.
Mengabsorpsi
makanan.
Menurut Handajani dan Wahyu (2010),
secara anatomis, struktur alat pencernaan ikan berkaitan dengan bentuk tubuh,
kebiasaan makan, dan kebiasaan memakan (kategori ikan) serta umur (stadia
hidup) ikan memakan.
1.
Mulut
Bagian
terdepan dari mulut adalah bibir. Pada tertentu, bibir ini tidak berkembang dan
malahan hilang secara total, karena digantikan oleh paruh atau rahang, seperti
ditemukan pada ikan family Scaridae, Diodontidae, Tetraodontidae dan lain-lain.
Ukuran makanan suatu jenis ikan ditentukan oleh ukuran bukaan mulut ikan.
2.
Rongga
Mulut
Di
belakang mulut terdapat ruang yang disebut rongga mulut. Rongga mulut ini berhubungan
langsung dengan segmen faring, oleh karenanya rongga mulut dan faring ini
sering disebut rongga “Buccopharynx”.
3.
Faring
Bagian
insang yang mengarah ke segmen faring adalh tapis insang. Pada ikan yang cara
memperoleh makanannya dengan menyaaring organism air (plankton), maka proses
penyaringan terjadi di segmen ini.
4.
Esofagus
Esophagus
ikan laut berperan dalam penyerapan garam melalui difusi pasif sehingga
konsentrasi garam air laut yang diminum menurun, sehingga memudahkan penyerapan
air oleh usus belakang dan rectum.
5.
Lambung
Besarnya
ukuran lambung ini berkaitan dengan fungsinya sebagai penampung makanan.
6.
Pilorus
Hal
yang mencolok pada segmen ini adalah adanya penebalan lapisan otot melingkar
yang mengakibatkan terjadinya penyempitan saluran. Dengan menyempitnya saluran
pencernaan pada segmen ini bahwa segmen pylorus berfungsi sebagai pengatur
pengeluaran makanan dari lambung ke segmen usus.
7.
Usus
Usus
merupakan tempat terjadi proses penyerapan zat makanan.
8.
Rectum
Seperti
halnya pada hewan lain, segmen rectum berfungsi dalam penyerapan air dan ion.
Pada larva ikan, rectum berfungsi sebagai penyerapan protein.
9.
Kloaka
Kloaka
adalah ruang bermuaranya saluran pencernaan dan saluran urogenital.
10. Anus
Anus
merupakan ujung dari saluran pencernaan. Pada ikan bertulang sejati anus
terletak di sebelah depan saluran genital.
1.8
Manfaat Kandungan Pakan Ikan
1.8.1
Pakan Alami
Pakan alami adalah pakan yang
diberikan kepada ikan budidaya yang diperoleh langsung dari alam atau
diproduksi melalui kultur (pemeliharaan), pakan alami dapat berupa hewan atau
tumbuhan. Pakan alami ini dapat langsung diberikan kepada ikan budidaya di
wadah budidaya tanpa harus diolah. Yang perlu diperhatikan adalah kandungan
gizi pakan alami tersebut, juga dampak lain dari pakan itu. Oleh karena itu,
jenis pakan alami yang hendak digunakan harus diketahui zat-zat yang
dikandungnya serta dampaknya terhadap air maupun ikan (Kordi, 2004).
Menurut Djarijah (1995)
dalam Soedibya dan Siregar (2007), pakan ikan alami merupakan makanan ikan
yang tumbuh di alam tanpa campur tangan manusia secara langsung. Pakan alami
yang sering digunakan sebagai makanan alami ikan meliputi plankton, benthos,
tumbuhan air, detritus dan serasah.
1.8.2
Pakan Buatan
Pakan buatan adalah pakan yang
diberikan kepada ikan budi daya yang telah diolah menjadi satu ramuan komplet,
seperti pellet. Pellet jagung yang diberikan kepada ikan budi daya harus
dipilih sesuai dengan kebutuhan gizi untuk ikan. Pellet juga tidak berasal dari
bahan baku yang beracun atau kadaluarsa (Kordi, 2004).
Menurut Akbar dan Sudaryanto (2001) dalam Sari et al.,(2009),
pakan buatan adalah pakan yang sengaja dibuat dari beberapa jenis bahan baku.
Pakan buatan yang baik adalah pakan yang mengandung gizi yang penting untuk
ikan, memiliki rasa yang disukai oleh ikan dan mudah dicerna oleh ikan.
1.9 Jenis Makanan Pada Ikan
Menurut Yuwono dan Purnama (2001), berdasarkan tipenya,
pakan hewan air dapat dielompokkan sebagai berikut ;
- Pakan partikel kecil bakteri, algae- metodenya antara lain menggunakan silia, menyaring amoeba radiolaria, ciliate, bivalvia, gastropoda, crustacean.
- Pakan partikel besar diperoleh dengan menangkap dan menelan mangsa ikan karnivora, herbivora, dan omnivore
- Pakan molekul organic terlarut diperoleh melalui aptik dari perairan sekitarnya, misalnya pada avertebrata laut kecuali arthropoda.
- Pakan nutrient dari organisme simbiotik, dimana hewan memperoleh pakannya melalui simbiosa, misalnya pada zooxanthel dan porifera
- Menurut Saryam (2010), jenis-jenis pakan ikan ;
- Pakan hidup terdiri dari ikan hidup, cacing, invertebrate aquatic, seperti daphnia atau artemia, larva serangga seperti bloodwarm dan jentik nyamuk infusaria, rotifer, paramecium.
- Pakan segar, pemberian pakan binatang lain, seperti pakan untuk mamalia atau burung, walaupun sebelumnya sering digunakan kaya dengan asam-asam lemak tapi dari jenisyang salah, sehingga perlu diseleksi dengan baik atau dihindarkan.
- Pakan beku, keuntungan dari pakan beku adalah tersedia sepanjang tahun, sehingga dapat mengatasi kendala musim.
- Pakan botolan, pakan botolan terdiri dari jenis pakan hidup merupakan yemuan yang relative baru dan masih terus dikembangkan.
- Pakan beku kering, keuntungannya pakan relative steril dari penyakit dan tersedia berbagai bentuk pakan
- Pakan kering, pakan kering cocok untuk ikan karnivora, herbivora dan omnivora.
1.10 Komposisi Pakan (Pelet,Tubifex kering,Chironomus beku, Lumut jaring dan Daun bayam)
a. Pellet
Menurut Handayani dan Wahyu (2010),
pakan buatan adalah pakan yang dibuat dengan formulasi tertentu berdasarkan
pertimbangna kebutuhannya. Pembuatan pakan sebaiknya didasarkan pada
pertimbangan kebutuhan nutrisi ikan, kualitas bahan baku dan nilai ekonomis.
Dengan pertimbangan yang baik, dapat dihasilkan pakan buatan yang disukai ikan,
tidak mudah hancur dalam air.
Pellet merupakan bentuk p`kan yang
paling sesuai untuk ikan, karena teksturnya halus kompak nilai gizi merata, dan
mudah pemberiannya. Filler (bahan pengisi)
dalam pembuatan pellet dapat digunakan pakan remah, tepung tapioca dan
tepung jagung (Haetami et al, 2006).
b. Daun
bayam
Hijauan segar merupakan bahan-bahan makanan yang langsung
dicampurkan dalam bentuk segar. Umumnya kadar air hijauan segar sangat tinggi
sekitar 90 %. Contoh yang dapat dikemukakan adalah rumput-rumputan, karang-karangan
( legume) dan daun turi (Sesbania
glandifora) (Handajani dan Wahtu, 2010).
Menurut Sumpena (2008), bayam (Amaranthus tri color) salah satu sayuran daun yang mempunyai nilai
nutrisi tinggi karena bayam sayur mengandung vitamin A (beta carotin) C; riboflavin
dan asam volik yang keduanya adalah elemen penting vitamin B kompleks dan juga
asam amino tianin dan niacin.
c. Tubifex
Menurut Satyantini (2008), cacing Tubifex spp juga memiliki serat kasar yang sangat rendah yaitu 0,29
% sehingga lebih disukai dan sangat mudah dicerna dengan sempurna oleh larva
ikan lele dumbo yang nantinya berpengaruh terhadap pertumbuhan. Kandungan
protein cacing Tubifex spp dapat
mencapai 48,56% sehingga pemberian cacing Tubifex
spp dapat memenuhi kebutuhan protein larva ikan lele dumbo.
Menurut Subandiyah et
al ( 2003), cacing Tubifex sp
merupakan pakan alami yang paling disukai oleh ikan air tawar. Pakan caing Tubifex sp mempunyai beberapa keuntungan
antara lain ; pergerakannya relative lambat sehingga member rangsangan bagi ikan
untuk memakan, ukurannya sesuai dengan bukaan mulut ikan mempunyai kandungan
protein yang tinggi dan mudah dicerna.
d. Chironomus
Menurut Said et al (2006),
kandungan nutrisi persen berat beberapa jenis pakan alami chironomus terdiri
dari 87,64% kadar air, 56,60% protein, 2,86% lemak, 4,94% abu, 26,24% serat.
Menurut Chumaidi dan Riyadi (1989) dalam Nasution (2002), bahwa pakan alami Chironomus sp mengandung lemak 2,86%, dan protein 56,6% sedangkan
diketahui bahwa proses pertumbuhan bukan hanya dipicu oleh tingginya nilai
protein namun juga dipengaruhi oleh kandungan lemak, khususnya asam lemak tidak
jenuh ganda (PUFA).
e. Lumut
jaring
Menurut Damayanti (2006) dalam Fadhila (2010), lumtu merupakan rumah bagi invertebrate
yang memiliki peran yang penting alam menjaga porositas tanah dan mengatur
kelembapan ekosistem. Karena kemampuannya dalam menahan dan menyerap air.Para
ahli sudah mulai banyak meneliti komposisi zat yang dikandung lumut.Beberapa
diantaranya mengandung senyawa antibiotic dan zat lain yang memiliki khasiat
obat.
Cladophora adalah algae yang berbentuk benang bercabang
hijau.Ganggang ini bersifat kering dan tidak berlendir.Bentuk benang atau
jaringnya sangat kuat dan sangat tipis.Tumbuh pada batu dan kayu yang terendam
dan terkena cahaya secara langsung, dalam kasus yang sangat buruk akan tumbuh
pada tanaman juga.Biasanya cenderung tinggal di satu titik, yang membuatnya
mudah untuk dihilangkan (Admin,2010).
1.11
Faktor
yang Mempengaruhi GET
Menurut Windell (1978)
dalam Haetami et al (2007), laju
pengosongan lambung dapat didefinisikan sebagi laju dari sejumlah pakan yang
bergerak melewati saluran pencernaan persatuan waktu tertentu, yang dinyatakan
sebagai gr/jam atau mg/menit. Faktor-faktor yang mempengaruhi laju pengosongan
lambung yaitu suhu air, ukuran tubuh, jumlah pakan yang tersedia, frekuensi
makan, ukuran partikel pakan, pergerakan fraksi pakan tercerna atau tidak
tercerna, serta pemuasaan dan pemaksaan ikan.
Menurut Seyhan (2007), pentingnya tingkat pengosongan
lambung didasarkan pada asumsi bahwa periode waktu lebih lama tingkat dimana
makanan telah dievakuasi oleh perut sama dengan tingkat makanan yang tertelan
atau masuk. Jumlah makanan yang dikonsumsi oleh ikan yang biasanya telah
diperkirakan setiap hari. Penentuan asupan makanan dari isi perut membutuhkan
tingkat perkiraan pengosongan lambung.
1.12 Faktor yang Mempengaruhi Digestibility
Menurut Weichert (1959), fungsi utama dan system lambung
adalah untuk menyimapan makanan, sehingga mereka dapat menyeimbangkan tubuh yang
digunakan dalam pertumbuhan, pemeliharaan struktur tubuh dan untuk menghasilkan
energy. Fungsi dasar dari lambung adalah menghancurkan molekul komplek yang
berasal dari makanan melalui berbagai macam perubahan kimia menjadi molejul
yang lebih sederhana.Struktur yang lebih sederhana tersebut diabsorbsi di dalam
dinding lambung dan masuk ke dalalm pembuluh darah kecil atau lateral pada
system limfa (jika makanan dalam bentuk lemak dan minyak).
Kapasitas lambung dan laju pakan dalam saluran cerna
merupakan variable dari daya cerna. Ikan yang berbobot lebih cepat dibandingkan
ikan yang berbobot lebih besar, sehingga jumlah pakan relative (%bobot
tubu/hari semakin kecil) (Vahl et al,
1979). Akan tetapi semakin besar ukuran ikan, daya cerna komponen serat semakin
baik.Selain factor ukuran, daya cerna dipengaruhi oleh komposisi pakan, jumlah
komposisi pakan, status fisiologi, dan tata laksanan pemberian pakan.Menurut
Wang et al (1989), frekuensi
pemberian 2 atau 3 kali sehari cukup menghasilkan konsumsi maksimum dapat
digunakan dalam penelitian daya cerna (Agung et al, 2007).
3. DATA HASIL PENGAMATAN
3.1 Digestibility
Kelompok
|
Perlakuan
|
BTM
|
BTF
|
Digestibility(%)
|
1
|
Lumut jaring
|
0,3 gr
|
0,04 gr
|
86,67%
|
2
|
Tubifex
|
2,48 gr
|
0
|
100%
|
3
|
Chironomus
|
0,9 gr
|
0.03 gr
|
06,67%
|
4
|
Pellet
|
0,423 gr
|
0,13 gr
|
69,26%
|
5
|
Daun bayam
|
1,6 gr
|
0,019 gr
|
99%
|
6
|
Lumut jaring
|
0,205 gr
|
0,13 gr
|
36%
|
7
|
Tubifex
|
1,98 gr
|
0,03 gr
|
98,48%
|
8
|
Chironomus
|
1,28 gr
|
0,02 gr
|
98,4%
|
9
|
Pellet
|
2,06 gr
|
0,03 gr
|
98,54%
|
10
|
Daun bayam
|
1,094 gr
|
0,06 gr
|
94,5%
|
3.2
GET
Tabel GET 1 jam
Kelompok
|
Perlakuan
(Jam)
|
Berat
|
LnW0
|
lnWt
|
b
|
GET
(Jam)
|
||
W0(gr)
|
Wt(gr)
|
|||||||
1
|
Lumut jaring
|
0,16
|
0,25
|
-1,83
|
-1,38
|
2,2
1,74
2
Tubifex
0,55
0,54
-0,59
-0,62
3x10-2
19,67
17,67
3
Chironomus
0,37
0,18
-0,99
-1,7
0,79
1,25
1,15
4
Pellet
0,05
0,25
-2,99
-1,514
-80,5
0,037
-0,943
5
Daun bayam
0,33
0,22
-1,108
-1,04
0,45
2,46
2,539
6
Lumut jaring
0,048
0,35
-3,04
-8,95
-8,95
0,31
0,49
7
Tubifex
0,39
0.14
-0,94
-1,966
-1,96
0,78
0,62
8
Chironomus
0,56
0,47
-0,579
-0,755
-0,75
3,29
3,28
9
Pellet
0,4122
0,26
-0,89
-1,35
-1,35
0,92
0,4
10
Daun bayam
0,379
0,12
-0,97
-2,1
-1,27
0,760
0,66
Tabel GET 2 jam
Kelompok
|
Perlakuan
(Jam)
|
Berat
|
LnW0
|
lnWt
|
b
|
GET
(Jam)
|
||
W0(gr)
|
Wt(gr)
|
|||||||
1
|
Lumut jaring
|
0,10
|
0,21
|
-2,3
|
-1,56
|
-0,46
|
5
|
4,61
|
2
|
Tubifex
|
1,16
|
0,28
|
0,14
|
-1,27
|
0,72
|
0,19
|
0,25
|
3
|
Chironomus
|
0,32
|
0,29
|
-1,14
|
-1,2
|
0,03
|
38
|
37,984
|
4
|
Pellet
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
5
|
Daun bayam
|
0,5
|
0,22
|
-0,693
|
-1,514
|
0,41
|
1,69
|
1,686
|
6
|
Lumut jaring
|
0,034
|
0,35
|
-3,38
|
-1,05
|
-2,16
|
56
|
0,48
|
7
|
Tubifex
|
0,43
|
0,40
|
-0,84
|
-0,91
|
0,05
|
16,8
|
16,15
|
8
|
Chironomus
|
0,41
|
0,46
|
-0,89
|
-0,776
|
-0,058
|
15,34
|
15,303
|
9
|
Pellet
|
0,594
|
0,46
|
-0,52
|
-0,78
|
1,36
|
0,38
|
0,28
|
10
|
Daun bayam
|
0,447
|
0,16
|
-0,805
|
4,833
|
0,539
|
1,493
|
1,399
|
Tabel GET 3 jam
Kelompok
|
Perlakuan
(Jam)
|
Berat
|
LnW0
|
lnWt
|
b
|
GET
(Jam)
|
||
W0(gr)
|
Wt(gr)
|
|||||||
1
|
Lumut jaring
|
0,18
|
0,11
|
-1,7
|
-2,2
|
0,13
|
13,08
|
12,85
|
2
|
Tubifex
|
1,2
|
0,18
|
0,18
|
-1,7
|
0,47
|
0,38
|
0,4
|
3
|
Chironomus
|
0,62
|
0,1
|
-1,42
|
-2,3
|
0,29
|
4,89
|
3,91
|
4
|
Pellet
|
0,028
|
0,24
|
-3,57
|
-1,43
|
-0,89
|
4,01
|
2,41
|
5
|
Daun bayam
|
0,62
|
0,18
|
-0,478
|
-1,714
|
0,412
|
1,160
|
0,16
|
6
|
Lumut jaring
|
0,132
|
0,19
|
-2,02
|
-1,66
|
-0,09
|
22,4
|
22,31
|
7
|
Tubifex
|
0,78
|
0,29
|
-0,24
|
-1,23
|
0,99
|
0,24
|
0,08
|
8
|
Chironomus
|
0,43
|
0,42
|
-0,843
|
-0,867
|
6.10-3
|
140,03
|
140,01
|
9
|
Pellet
|
0,5
|
0,27
|
-0,69
|
-1,3
|
0,16
|
4,33
|
4,5
|
10
|
Daun bayam
|
0,651
|
0,27
|
-0,429
|
-1,309
|
0,228
|
1,88
|
1,735
|
4.
Pembahasan
4.1
Analisa Prosedur
4.1.1
Digestibility/Daya Cerna
Dalam Praktikum Fisiologi Hewan Air, Bab Pencernaan
mengenai daya cerna/digestibility, alat-alat yang perlu disiapkan adalah toples
sebagai tempat media pengamatan, timbangan digital untuk menimbang, sectio yang
berfungsi untuk membedah ikan, hot plate untuk memanaskan feses serta nampan
sebagai alas untuk menimbang ikan serta tempat untuk meletakkan alat dan bahan.
Sedangkan, bahan-bahan yang perlu disiapkan adalah lumut jaring sebagai pakan
alami nabati, sebagai pakan buatan, tubifex kering serta chironomous sebagai
pakan alami hewani, ikan nila (Oreocrhomis
niloticus) sebagai objek yang diteliti, serta kertas saring sebagai alas
untuk menimbang, dan lap basah untuk membekap ikan nila.
Setelah semua alat dan bahan siap, maka pertama-tama,
toples diisi air sampai ¾ bagian, yang diasumsikan sebanyak 2 liter. Tujuan
dari penggunaan toples adalah karena memiliki kaca yang ambung, sehingga
mempermudah pengamatan. Sementara itu, ikan nila (Oreocrhomis niloticus) diambil dan ditimbang berat awalnya. Cara
menggunakna timbang digital yaitu pertama-tama timbangan dihubungkan dengan
arus listrik, kemudian ditekan tombol dan diletakkan nampan dan lap basah
diatasnya lalu ditekan tombol “zero”. Setelah pada layar menunjukkan angka 0,
lalu diletakkan ditimbang berat pakan yang dibutuhkan, yaitu sebanyak 5% dari
berat awal tubuh ikan. 5% berat pakan disini adalah konversi maksimum dari
berat tubuh ikan. Pakan yang digunakan dalam pada kelompok 5 adalah pakan alami
nabati, yaitu yang berasal dari lumut jaring. Cara menggunakan timbangannya
adalah pertama-tama timbangan dihubungkan dengan arus listrik, kemudian ditekan
tombol “TARE”. Setelah itu, kaca pada timbangan dibuka dan dimasukkan kertas
sebagai alas menimbang, lalu ditutupi kacanya dan ditekan tombol “Tare”.
Setelah itu kaca dibuka dan ditimbang lumut jaring sesuai dengan kebutuhan
sampai angka pada layar menunjukkan 5% dari berat tubuh ikan. Kemudian lumut
jaring tersebut diberikan pada ikan nila (Oreochomis
niloticus) dan dibiarkan dengan waktu selama 1 jam (kelompok ganjil).
Sementara menunggu ikan, langkah selanjutnya adalah menimbang kertas saring.
Cara penimbangannya sama dengan cara penimbangan pada lumut jaring.
Setelah 1 jam, ikan kemudian diambil dan ditusuk pada
bagian medulla oblongata agar ikan mati. Setelah mati, ikan kemudian dibedah
dengan menggunakan sectio set. Cara pembedahannya dimulai dari anus sampai
kebagian belakang operculum. Bagian yang dibedah adalah sebelah kiri, karena
penampang organ yang kelihatan lebih jelas. Kemudian diambil organ pencernaannya,
utamanya pada usus besar untuk diambil fesesnya. Setelah feses diambil dan
diletakkan diatas kertas saring, dan dipanaskan diatas hot plate selama 3
menit. Cara penggunaan hot plate adalah dihubungkan dengan arus listrik.
Setelah 3 menit, feses ikan tadi kemudian ditimbang beratnya dengan menggunakan
timbangan analitik. Yaitu pertama-tama timbangan dihubungkan dengan arus
listrik dan ditekan tombol on serta rezero. Kemudian diletakkan feses beserta
kertas saring tadi diatasnya sehingga diketahui beratnya. Kemudian dihitung
nilai digestibility dengan menggunakan rumus : x 100%, dimana BTM merupakan berat total makanan dan
BTF merupakan Berat Total Feses dalam gram, dimana berat feses merupakan hasil
dari berat ketika ditimbang dengan timbangan analitik dikurangi berat kertas
saring.
4.1.2 GET (Gastric
Evacuation Time)
Dalam Praktikum Fisiologis Hewan Air bab pencernaan,
untuk praktikum GET, alat-alat yang perlu disiapkan adalah toples kapasitas 2
liter sebagai tempat media pengamatan, geser untuk mengambil ikan, nampan
sebagai alat untuk menimban. Sectio set untuk membedah ikan, serta timbangan
digital untuk menimbang berat ikan. Sedangkan, bahan yang perlu disiapkan
adalah 3 buah ikan nila (Oreochomis
niloticus) dengan berat yang kurang lebih sama atau hampir sama, kertas
saring sebagai alas saat menimbang, lap basah untuk membekap ikan, air sebagai
media tempat pengamatan, kertas label untuk memberi tanda pada toples serta,
pakan yang dibutuhkan, yaitu pallet, lumut jaring, tubifex kering, serta
chironomous.
Pertama-tama disiapkan dahulu 3 buah toples lalu diisi
air sampai ¾ bagian. Kemudian, siapkan 3 ekor ikan nila (Oreocrhomis niloticus) yang mempunyai berat yang hampir sama,
kemudian ditimbang masing-masing beratnya dengan menggunakan timbangan digital.
Caranya adalah pertama-tama timbangan dihubungkan dengan arus listrik, lalu
ditekan tombol “ON”. Kemudian letakkan nampan dan lap basah diatasnya lalu
tekan tombol rezero. Tujuan penggunaan lap adalah agar ikan tidak melompat saat
ditimbang. Setelah diketahui beratnya masing-masing, kemudian masukkan ikan
pada toples dan besi label 1 jam, 2 jam dan 3 jam pada setiap toples. Kemudian,
ikan diberi makan dengan konversi 1,5% dari berat tubuh ikan. 1,5% merupakan
batas konversi terendah pakan karena pengamatan hanya dilakukan selama beberapa
jam, sedangkan jika seharian penuh menggunakan konversi minimum pakan yaitu
sebanyak 3% dari berat tubuh ikan. Pakan yang digunakan untuk kelompok 5 adalah
pakan alami nabati yang berupa lumut jaring. Timbangan yang digunakan adalah
timbangan sartonus. Pertama-tama timbangan sartorius. Kemudian dimasukkan
kertas sebagai alas menimbang dan ditutupi kacanya dan kemudian ditekan tombol
Tare. Setelah itu, ditimbang pakan yang dibutuhkan sesuai dengan bdrat tubuh
pada masing-masing ikan, kemudian pakan diberikan kepada ikan dan diamati,
serta dicatat waktu pertama kali ikan memakan lumut jaring tersebut lalu
ditunggu pengamatan selama 1,2 dan 3 jam.
Setelah ikan nila (Oreochomis
niloticus) diamati selama 1 jam, kemudian ikan diambil dan ditusuk pada
bagian medula oblongata sehingga ikan mati. Setelah mati, ikan nila (Oreochomis niloticus) kemudian dibedah
dengan menggunakan sectio set. Bagian yang dibuka adalah bagian yang sebelah
kiri karena mempunyai penampang organ yang lebih jelas. Cara pembedahannya
adalah dimulai dari anus sampai kedepan, tepatnya dibelakang operculum. Setelah
dibedah, diambil organ pencernaannya dan diambil bagian lambungnya. Kemudian,
lambung diletakkan diatas kertas saring yang sudah ditimbang dan ditimbang
berat detir (Wt). Kemudian ditimbang dengan menggunakan timbangan sartorius.
Begitu juga dengan pengamatan ikan yang selama 2 dan 3 jam. Setelah diketahui
berat lambung pada masing-masing ikan, kemudian dihitung nilai GET-nya dengan
menggunakan rumus :
Wt
= berat lambung pada saat (t) jam
Wo
= berat makanan yang diberikan (gr)
b
= koefisien pencernaan/daya cerna
(gr/jam)
t
= waktu yang dibutuhkan dalam
pengamatan (jam)
a
= tenggang waktu pemberian pakan
dan pertama kali makan (jam)
Setelah dihitung dengan rumus tersebut, dapat diketahui
perbedaan GET setiap jamnya.
4.2 Analisa Hasil
4.2.1 Digestibiliy
Dari data pengamatan praktikum mengenai pencernaan
tentang daya cerna atau digestibility kelompok 1 yang menggunakan Ikan nila (Oreochromis niloticus) dengan diberi perlakuan pakan lumut jarring,
didapatkan nilai BTM atau Berat Total Makan adalah 0,3 gram. Sedangkan BTF atau
Berat Total Feses setelah diberi pakan pada selang waktu 1 jam adalah 0,04
gram. Setelah dilakukan perhitungan, dengan cara nilai BTM dikurangi BTF dan
hasilnya dibagi BTM lalu dikalikan dengan 100%. Maka di dapat hasil 6,67%
sebagai nilai digestibility atau daya cerna Ikan nila (Oreochromis niloticus). Nilai digestibility dan Ikan nila (Oreochromis niloticus) yang di dapatkan
hampir mencapai 100% menunjukkan daya cerna ikan pada kelompok kami sangat
baik, mengingat tidak semua ikan dapat memiliki kemampuan daya cerna yang
mendekati 100%.
Menurut Suryantini et.al
(2008), cacing tubifex spp merupakan pakan alami yang mudah dicerna oleh larva
ikan lele. Tekstur tubuh cacing tubifex
spp yang cenderung lunak akan memudahkan pemangsaan oleh larva ikan lele dumbo.
Analisa Grafik Digestibility
Dari grafik di atas tampak dapat
diketahui nilai digestibility terendah pada kelompok 6, dan nilai digestibility
nya rata – rata hampir sama dari kelompok 1,3,5,7,8,9,10 mempunyai nilai
digestibility 90% ke atas. Pada kelompok 4 digestibility sekitar 70%. Perbedaan
nilai digestibility dikarenakan jenis pakan yang berbeda. Perbedaannya antara
pakan alami, hewani dan buatan. Grafik digestibility yang persentasenya hampir
mendekati 100% pada kelompok 2. Hal tersebut karena pada kelompok 2 dengan
menggunakan pakan tubifex kering. Pada kelompok 1 dan kelompok 6 grafiknya
sedikit rendah dari kelompok lain. Hal tersebut dikarenakan pakan menggunakan
lumut jaring, karena merupakan pakan alami nabati yang memiliki serat tinggi
dan susah di cerna bagi ikan. Pada kelompok 2 dan kelompok 7 grafiknya hampir
mendekati 100%. Hal tersebut dikarenakan pakan menggunakan tubifex kering,
karena tubifex mudah di cerna karena bentuknya ringan dan berbentuk padat. Pada
kelompok 3 dan kelompok 8 menggunakan pakan chironomous yang terbuat dari
cacing dan di bekukan, dan merupakan pakan alami hewani yang mudah dicerna
lambung. Pada kelompok 5 dan kelompok 10 menggunakan pakan daun bayam. Pakan
ini susah dicerna oleh ikan di karenakan pakan tersebut berserat tinggi dan
ikan tidak mempunyai enzim selulosa dan sulit untuk dicerna oleh ikan.
1.2.2 GET (Gastric Evacuation
Time)
Pada praktikum
Fisiologi Hewan Air, tentang GET (Gastric Evacuation Time) diperoleh hasil
sebagai berikut. Pada kelompok 6 yang dilakukan percobaan GET selama 1-4 jam
dengan pakan alami lumut jaring dengan konversi 1,5 % dari berat tubuh ikan
didapat 0,49 yang merupakan hasil terendah karena menggunakan lumut jaring yang
mempunyai sifat lebih cepat dicerna. Dan kelompok 2 dengan pakan tubifex sp menghasilkan GET tertinggi
sebesar 19,67 untuk GET 2 kelompok 6 memperoleh hasil 0,48 sedangkan GET
terendah dimiliki kelompok 4 yaitu o
karena pakan masi belum sampai ke lambung dan GET tertinggi dimiliki kelompok
dengan pakan chironomous sp sebesar
37,98 untuk GET 3 kelompok 6 menghasilkan nilai sebesar 4,23 sedangkan GET
terendah dimiliki kelompok 2 dengan pakan
tubifex sp yaitu sebesar 0,31 dan
GET yang dimiliki kelompok 1 yaitu 13,68 dengan pakan lumut jaring . untuk GET
4 kelompok 6 memperoleh nilai GET 22,49 merupakan terendah sedangkan GET
tertinggi yang dimiliki kelompok 8 yaitu
0,015 dengan pakan chironomous sp.
Nilai GET nya tertinggi karena waktu dinilainya
waktu dimulai pencernaan ikan terlalu cepat makan dan GET terendah yang
dimiliki kelompok 7 yaiyu 0,08 dengan pakan tubifex
sp sedangkan dari GET kelompok
1,2,3,4 tertinggi dimiliki oleh kelompok
dengan pakan alami hewani. Dhsini erdapat sedikit perbedaan sedangkan GET
terendah dimiliki kelompok dengan pakan alami nabati.
Menurut salvanes et al (1995), Sweka et al (2004) dalam Hannah (2004), Lambung menilai
tindakan Evakuasi Kecep`tan Yang bermuara sisa mangsa diperut waktu setelah
makan. Pola evakuasi lambung dapat dipengaruhi oleh sejumlah faktor termasuk
suhu, krakteristik dari predato dan karakteristik dari mangsa .
Dan juga menurut Haetami (2002), ikan yang berbobot tubuh
perjam dari dalam lambungnya lebih cepat dibanding ikan yang berbobot tubuh
perbobot lebih besar, sehingga jumlah konsumsi pakan relatif 1% bobot tubuh/
hari semakin kecil.
Analisa Grafik
·
GET 1 jam
Dari grafik yang tertera di atas dapat dilihat bahwa
grafik tertinggi ditunjukkan oleh kelompok 2 dengan pemberian pakan pelet . Hal
tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin beda jenis pakan yang diberikan maka
semakin besar nilai GET. Hal tersebut diyakinkan oleh Handajani dan Wahyu (2010), pakan buatan adalah pakan yang dibuat
dengan formulasi berdasarkan pertimbangan kebutuhannya pembuatan pakan
sebaiknya didasarkan pada pertimbangan kebutuhan nutrisi Ikan kualitas bahan
baku dan nilai ekonomis.
·
GET 2 jam
Dari
grafik di atas dapat dilihat bahwa grafik tertinggi ditunjukkan dari kelompok 3
yaitu diberi perlakuan Chironomous sp
yaitu grafik terendah adalah nilai GET dari kelompok 2 dan 4 sebesar 0,00
karena tidak ada aktivitas makan dengan menggunakan pelet.
Menurut Kordi (2004), Pakan alami adalah pakan yang diberikan
kepada ikan budidaya yang diperoleh langsung dari alam atau produksi langsung
melalui kultur (pemeliharaan). Pakan alami didapat berupa hewan atau tumbuhan.
Pakan alami ini dapat langsung diberikan kepada ikan budidaya diwadah budidaya
tanpa harus diolah.
·
GET 3 jam
Dari
grafik yang dilihat bahwa nilai GET tertinggi dari kelompok 8 yaitu sebesar
26,5 dan nilai GET terendah dari kelompok 2 yaitu 0,31 Hal ini dapat
disimpulakan bahwa semakin bervariasi jenis makanannya, semakinbesar nilai GET
nya. Jika semakin sedikit waktu yang diberikan.
·
GET 4 jam
Dari grafik yang ada di atas dapat dilihat bahwa nilai
GET tertinggi adalah pada kelompok 8 sebesar 140,015 dengan menggunakan pakan Chironomous sp dan nilai GET terendah
adalah kelompok 7 sebesar 0,08 yang menggunakan pakan tubifex kering sulit
dicerna dan lama waktunya. Semakin banyak jenis makanannya semakin besar nilai
GET nya.
4.3 Hubungan GET Dengan
Digestibility
Hubungan digestibility dan GET (Gastric Evacuation Time)
adalah apabila nilai dari digestibility meningkat, maka nilai GET akan menurun.
Hal ini sangat erat hubungannya dengan waktu yang digunakan dalam pengamatan.
Hal itu berarti bahwa waktu adalah faktor penting dalam hubungannya antara,
digestibility dengan GET. Hal ini sesuai dengan pernyataan Haetami (2002), hubungan
laju digesti dengan lamanya waktu dapat diikat dari pengertian itu sendiri
bahwa laju digesti adalah laju pengosongan lambung, dimana bobot lambung pada
saat pertama kali berbeda dengan ikan yang telah mencerna makanannya. Maka
keadaan lambung pada saat itu dalam keadaan kosong kembali. Jika pakan ikan
yang dicerna adalah berasal dari tumbuh-tumbuhan.
Begitu pula pada pernyataan Hannan (2004), suhu
berpengaruh terhadap laju pengosongan isi lambung (digestion rate), semakin
tinggi suhu (mendekati optimum) akan semakin cepat laju pencernaannya. Dan
untuk suatu kondisi suhu tertentu, biasanya tingkat konsumsi makanan (ration)
berpengaruh terhadap laju pengosongan lambung laju (pencernaan). Dapat
disimpulkan bahwa makin tinggi suhu, makin besar nilai digesty dan tentu akan
mempercepat laju pengosongan lambung.
4.3 Faktor Koreksi
Dalam Praktikum Fisiologi Hewan Air bab Pencernaan,
terdapat beberapa faktor koreksi, sebagai berikut :
·
Ikan yang digunakan terlalu
kecil, sehingga organ yang didapatkan kecil dan sulit untuk diamati
·
Sectio rate yang digunakan
pada kelompok 5 tidak ada guntungnya, sehingga perlu pinjam pada kelompok lain
dan memperlambat praktikum
·
Pisau pada sectio set
berkarat, sehingga tidak bisa digunakan
·
Aquarium yang digunakan
kotor dan belum dibersihkan, sehingga banyak feses didalamnya, sehingga ada
kemungkinan feses tersebut dimakan oleh ikan
4.4 Manfaat Dibidang
Perikanan
Manfaat dari Praktikum Fisiologi Hewan Air bab Sistem
Pencernaan adalah sebagai berikut:
·
Dapat mengetahui sistem
pencernaan serta organ-organ dalam sistem pencernaan
·
Dapat mengetahui daya cerna
ikan dengan menggunakan pakan buatan, pakan alami hewani serta pakan alami
nabati
·&nbrp;
Dapat mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi digestibility dan GET (Gastric Evacuation Time)
·
Dapat mengetahui organ-organ
pencernaan pada ikan, serta perbedaan organ pencernaan antara lain karnivora,
omnivore dan herbivora
·
Dapat mengetahui enzim-enzim
yang berperan dalam proses pencernaan
5.
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari Praktikum Fisiologi
Hewan Air, bab Pencernaan adalah sebagai berikut :
·
Pencernaan adalah
penyerderhanaan makanan menjadi molekul yang lebih kecil, agar dapat diadsorbsi
dan digunakan dalam tubuh
·
Proses pencernaan terjadi
secara fisik dan kimiawi
·
Pencernaan secara fisik
dimulai dirongga mulut, yaitu dengan berperannya gigi
·
Sedangkan pencernaan secara
kimiawi dimulai dibagian lambung dan dibantu dengan bantuan enzim
·
Organ-organ pencernaan
secara kimiawi dari mulut, rongga, faring, esophagus, lambung pylorus, usus,
rektu dan anus
·
Proses pencernaan terdiri
dari proses pencernaan lemak, protein dan karbohidrat
·
Jenis pakan pada ikan
terdapat tiga macam, yaitu pakan alami, pakan buatan dan pakan tambahan
·
Pakan alami terbagi atas dua
macam yaitu adalah apakah alami nabati (contohnya lumut jaring) dan pakan alami
hewani (contohnya tubifex)
·
Faktor yang mempengaruhi
digestibility adalah jumlah pakan, komposisi pakan, kondisi fisiologis ikan,
serta
·
Faktor yang mempengaruhi
digestibility adalah jumlah pakan, komposisi pakan, kondisi fisiologis ikan,
serta waktu pemberian pakan
·
Faktor-faktor yang
mempengaruhi GET adalah jumlah pakan, komposisi pakan, serta digestibility
·
Berdasarkan pengamatan
diatas, nilai digestibility tertinggi adalah pada kelompok 2 yaitu 100 % dengan
menggunakan pakan chiromous dan terendah pada kelompok 6 yaitu 36 %.
·
Dalam pengamatan GET 1 jam,
nilai tertinggi adalah pada kelompok 8 yaitu 26,5 jam dan nilai GET terendah
adalah pada keompok 2 yaitu 0 31 jam
·
Nilai GET tertinggi pada
pengamatan 2 jam adalah pada kelompok 3 yaitu 30,02 jam dan nilai GET terendah
adalah pada kelompok 4 yaitu 0 jam.
·
Dalam pengamatan GET selama
3 jam, nilai tertinggi adalah pada kelompok 2 yaitu 17,67 jam dan nilai
terendah adalah pada kelompok 4 yaitu 0,943 jam.
·
Nilai GET selama 4 jam nilai
tertinggi adalah pada kelompok 8 yaitu 140,015 jam dan nilai GET terendah pada
kelompok 7 yaitu 0,015 jam
5.2 Saran
Dalam Praktikum Fisiologi Hewan Air bab pencernaan yang
harus diperhatikan adalah perhitungan dalam GET, karena jika ada kesalahan
dalam perhitungan dapat mempengaruhi semua nilai GET dalam perhitungannya.
DAFTAR PUSTAKA
Admin, 2010. Cladophora Algae. http://aguajaya.com/article/jenis-algae/dadhopora-algae-html.
Diakses pada tanggal 9 April 2011 pukul 15.34
WIB
Agung, M.UK, K. Haetami dan Y. Mulyani.
2007. Penggunaan Limbah Kiambang Jenis
Duckweeds dan Azola dalam pakan dan implikasinya pada ikan Nilem. FPIK.
Universitas Padjajaran
Fadhilla, R. 2010. Aktivitas antimikroba Ekstrak Tumbuhan Lumut Hati (Marchantia paleacea) terhadap bakteri pathogen dan pembusuk makanan.
ITB: Bogor.
Haetami, K. 2002. Evaluasi Daya Cerna Pakan Limbah Azoka pada Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma macroponum, Cuver 1818) http://pustaka.unpad.ac.id/wpa
. Diakses pada tanggal 3 April 2011 pukul 09.16
Haetami, K., I. Susangka dan I. Maulina.
2006. Suplementasi Asam Amino pada Pelet
yang mengandung silase Ampas Tahu dan Implikasinya terhadap pertumbuhan ikan
Nila Gift (Oreochromis niloticus).
FPIK. UNPAD
Handajani, H. dan W. Widodo.2010.Nutrisi Ikan.UMM Press: Malang
Hannan dan Kristin. 2004. Determination of Gastric Evacuation Face.
Isnaeni, W. 2005. Fisinlogi Hewan. Kanisius. Yogyakarta.
Kimball, J.W. 1994. Biologi Edisi Kelima. Erlangga. Jakarta
Marsland and Douglas. 1945. Principies of Modern Biologi Washington
schuare Collage of Arts and Science. New York University
Meitansyah. 2009. Anatomi dan Fisiologi Ikan. http://www.meitansyah.wordpress.com/2009/04/07.
Diakses pada tanggal 09 April 2011 pukul 18.51 WIB
Nasution, S. H. 2002. Pengaruh Variasi Lemak terhadap PErtumbuhan Ikan Tilam Lurik Merah (Mastacembelus erythrotarinia, Biekker,
1950) http://iktiologi-indonesia-org/jurnal/21/06-0001.pdf
diakses pada tanggal 1 April 2011 pukul 17.02 WIB
Rohman, dan S. Nurul. 2009. Laporan Fisiologi Hewan. http://www.gummyroses.wordpress.com/2009/12/11.
Diakses pada tanggal 8 April 2011 pukul 17.02 WIB
Said, D.S., Triyanto dan H. Fauzi, 2006.
Adaptasi Jenis pakan untuk pertumbuhan
ikan pelangi train Eriatherina werneti. http://www.biotek.lipi.go.id
Diaksespada tanggal 8 April 2011 pukul 19.07 WIB
Sari, W.P., Agustoro dan Y.
Cahyono.2009. Pemberian pakan dengan
Energi yang berbeda terhadap pertumbuhan Benih Ikan Kerapu Tikus (Cromilapiles altivelis). http://ebook.unair.ac.id/data/jurnal/perikanan.
diakses pada tanggal 8 April 2011 pukul 19.09 WIB
Saryam, K. 2010. Jenis-jenis pakan ikan. http://kariminsaryam.blogspot.com
diakses pada tanggal 5 April 2011 pukul 19.11 WIB
Satyantini, W.H., Hendro P.W. dan A.T.
Mukti. 2008. Pengaruh Kombinasi Pakan
Alami yang berbeda terhadap Pertumbuhan dan kelulushidupan larva ikan lele
Dumbo (Clarias gariepinus) FKH.
Universitas Airlangga.
Scheer, B. T. 1945. Comparative Physiology. University of Oragon; London
Soedibyo, P.H.T. dan A. S. Siregar.
2007. Evaluasi Penggunaan Pupuk
Biostimulan sebagai Upaya Pengkayaan Pakan Alami dan Percepatan Tumbuh Ikan
Gurami (Oreochromus gouramy) pada
kolam pembenihan. Fakultas Biologu: Universitas Jendral Sudirman.
Seythan, Kadir, R.M. Evren, H.E. Miral
and Semih-E; Sela D. 2003 Die Feeding
Periodicity. Gastric Emptying and Estimade Daily Food Consumption of whelic (Ropana vehosa) in the Sauth Eastern
Black Sea (Turkey) Navine Ecosystem, India Journal of Marine Science Vol.
23 (3) September 2003, Pg. 249-251.
No comments:
Post a Comment