Wednesday, June 13, 2012

Laporan Praktikum Fisiologi Hewan Air SISTEM PENCERNAAN



Laporan Praktikum Fisiologi Hewan Air
SISTEM PENCERNAAN



  




R.Adhariyan Islamy (0910810063)










       Malang, 25 Juni 2011

Mengetahui,
Koordinator Asisten




Danang Ferry P.
NIM. 0810850034


                    Menyetujui,
                      Dosen Pengampu Mata Kuliah



                     DR. Ir. Agoes Soeprijanto, MS
                      NIP. 195908071986011001

 





















KATA PENGANTAR

Segala puja dan puji syukur ke hadiran Allah SWT. atas terselesainya praktikum dan penulisan laporan dari mata kuliah Fisiologi Hewan Air. Rasa terima kasih yang sebanyak- banyaknya kami ucapkan kepada :
1.      Orang tua kami tercinta, yang selalu memberi doa dan semangat, serta dorongan,
2.      Dosen mata kuliah Fisiologi Hewan Air, atas bimbingan dan ilmu yang bermanfaat yang diberikan kepada kami,
3.      Para asisten praktikum Fisiologi Hewan Air, yang telah membimbing dalam kegiatan praktikum ini,
4.      Teman- teman MSP`09, atas kerja sama dan kekompakannya selama ini, serta
5.      Semua pihak yang banyak membantu yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa penulisan ini jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu, kritik dan saran yang bermanfaat dari pembaca sangatlah diharapkan. Penulis berharap semoga penulisan laporan praktikum Fisiologi Hewan Air ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Malang, 25 Juni 2011


Penulis,
 

















Abstract


Foods that are eaten by fish must proceed through the digestive system. A process called digestion is a series of processes where solids are broken down into the solution of organic molecules are relatively small and can be dissolved before it can be used by heterotrophic organisms. Mechanism of digestion of the mouth, oral cavity, throat cavity, esophagus from the mouth to the stomach (esiphagus), stomach, muscular stomach (gizzard), intestine and anus. Digestion may be intracellular, extracellular or both, bahkanpada animals having digestive tract. Intracellular digestion method described as primitive and its presence is usually regarded as an indication of the primitive species. At an extracellular digestion possible differences from the digestive tract, so that the enzyme secretion of food can be taken, as a warehouse and transport food and nutrients, chemical digestion, absorbs and formation of feces that can take place in specific regions. In the digestive sxstem in fish, feed the fish is easily digested whereas Chironomus feed contains the most good is tubifex.
Key words: Digestion, feed, fish.

Abstrak

Makanan yang dimakan ikan harus diproses melalui sistem pencernaan. Pencernaan adalah suatu proses dimana makanan padat biasanya dipecah menjadi larutan molekul-molekul organik xang relative kecil dan dapat larut sebelum dipakai oleh organisme heterotrofik. Mekanisme pencernaan dimulai dari mulut, rongga mulut, rongga tenggorokan, saluran makanan dari mulut ke perut (esophagus), perut, otot perut (gizzard), usus dan anus. Pencernaan bisa berupa intraseluler, ekstraseluler atau keduanya,pada beberapa binatang yang mempunyai saluran pencernaan. Pencernaan intraseluler merupakan metode primitive dan biasanya dianggap sebagai indikasi dari spesies yang primitive. Pada pencernaan ekstraseluler terdapat beberapa perbedaan, yaitu enzim sekresi makanan dapat diambil, sebagai gudang dan transport makanan serta nutrient, pencernaan kimia, penyerapan makanan dan pembentukan feses yang dapat berlangsung di daerah khusus. Pada sistem pencernaan ikan, pakan yang mudah dicerna oleh ikan adalah chironomous sedangkan pakan yang memiliki kandungan nutrisi yang paling baik adalah tubifex.
Kata-kata kunci : Pencernaan, pakan, ikan









1. PENDAHULUAN

1.1   Definisi Pencernaan
Molekul pakan yang besar dan kompleks harus dipecah menjadi molekul yang lebih kecil dan sederhana agar dapat di adsorbsi dan selanjutnya digunakan dalam tubuh hewan, pemecahan molekul ini dilakukan dengan cara pencernaan (Kimball, 1994).

Digesti merupakan proses yang diperlukan dalam nutrisi heterotrofik. Dalam proses adsorbsi, molekul-molekul besar karbohidrat, protein, lemak, dan protein dari bagian-bagian sel dan jaringan yang dikonsumsi harus dipecah menjadi bagian-bagian yang kecil, seperti gula dan asam amino agar dapat diangkat melalui membran sel. Biarpun transfer molekul besar itu melalui membran, itu tidak merupakan masalah, tetapi senyawa organik yang disintesis oleh suatu heterotrof sering kali tidak sama dengan senyawa yang dikonsumsi sebagai makanan. Karena itu, sebelum didapatkan perakitan kembali diperlukan digesti (Handajani dan Wahyu, 2010).

1.2   Pengertian Daya Cerna Ikan pada Makanan
Setiap jenis ikan mempunyai daya cerna yang berbeda pada nutrisi yang dikonsumsinya. Pada ikan salmon merupakan salah satu jenis ikan karnivora yang rendah terhadap karbohidrat sehingga energi yang diperoleh dari karbohidrat hanya dapat dicerna sebanyak 140%, sedangkan ikan Catfish merupakan salah satu jenis ikan omnivora mempunyai kemampuan mencerna karbohidrat lebih tinggi dibandingkan ikan karnivora, yaitu 70% (Wooton et al (1980) dalam Haetami (2002).

Ikan telah lama mencarna makanannya, maka keadaan lambung pada saat itu dalam keadaan yang kosong kembali, sehingga ikan yang sudah menerima asupan pakan kembali. Jika pakan ikan yang dicerna berasal dari pakan yang nabati, maka laju pengosongan ikan akan tergantung pada seberapa besar ikan tersebut memakan pakan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Pakan yang mengandung bahan ekstrak dari tumbuh-tumbuhan mengandung selulosa sehingga ikan susah mencerna, sedangkan pakan yang berasal dari pakan hewani, proses pencernaannya akan lebih mudah (Murtidjo,2001 dalam Rohmah, 2005).

1.3   Pengertian Gastric Evacuation Time
Menurut Widell (1978) dalam Haetami et al (2007), sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, bahwa ada beberapa metode yang biasa digunakan untuk mengkaji (meng-evaluasi) kinerja proses pencernaan, yakni :
1.     Lama internal waktu dari sejak ikan melakukan aktivitas makan hingga Feses yang berasal dari makanan yang dikonsumsi di produksi,
2.     Laju pengosongan lambung, dan
3.     Laju penggerakan makanan dari saluran pencernaan melalui teknik radiografi.

Pada metode pertama, ikan diberi makan setiap hari dengan jumlah makanan yang konstan selama satu jam. Pada suatu hari, makanan yang biasa diberikan diganti dengan makanan yang diberi warna, misalnya (carrmin, Cr2O atau bahan pewarna lain). Laju pencernaan makanan ditentukan sebagai selang waktu aktivitas antara saat pemberian makanan yang mengandung warna dan saat munculnya Feses berwarna (Razin dan Mayer, dalam Kapoor, et al 1976). Umumnya, laju pencernaan berkisar antara 8-24 jam. Pada metode kedua, dilakukan untuk pengosongan isi lambung berhubungan erat dengan jumlah makanan yang konsumsi tipe atau struktur makanan dan suhu lingkungan (Seyhan, 2003).


1.4   Organ Pencernaan dan Fungsi
Menurut Triastuti et al (2009), ada dua sumber penghasil enzim pada bagian usus, yaitu pankreas (penghasil utama enzim) dan sel sekresi pada dinding usus. Enzim yang disekresikan oleh pankreas ini adalah trypsin, chimo trypsin, elastase, carboxypeptidase, amylase, chitinase, dan lipase. Trypsin merupakan enzim proteolitik utama dibagian usus, Chitinase terutama pada ikan-ikan pemakan krustaqa. Lipase ditemukan pada jenis ikan. Selain enzim-enzim diatas, cairan empedu yang disekresikan oleh hati berperanan penting dalam pencernaan dibagian usus ini. Pada mamalia cairan empedu terutama terdiri dari bilirubin dan biliverdin yang berfungsi memecah hemoglobin. Garam-garam empedu berperan seperti detergen dan membantu mengemulasikan lemak sehingga memungkinkan lemah untuk lebih mudah dicerna dengan bantuan enzim karena luas partikel lemak meningkat.

Menurut Weichert (1959), kelenjar pencernaan pada ikan terdiri hati dan pankreas. Kedua organ tersebut megekskresikan bahan yang kemudian digunakan dalam proses pencernaan makanan. Bahan dari hasil sekresi kedua organ tersebut akan masuk ke usus melalui saluran “ductus chole dochus” dan saluran “ductus pankreatikus”. Dengan adanya hubungan antara kelenjar pencernaan dengan usus depan, maka letak dari kedua kelenjar tersebut berada disekitar usus depan dan lambung. Hati merupakan organ penting yang mengekskresikan bahan untuk proses pencernaan.
  
1.5 Proses Pencernaan (Protein, Lemak dan Karbohidrat)
       Menurut Isnaeni (2006), proses pencernaan secara lebih sempurna dan penyerapan sari makanan berlangsung di dalam usus. Di usus, bahan makanan (karbohidrat, lipid dan protein) dicerna lebih lanjut dengan bantuan enzim dan diubah menjadi berbagai komponen penyusunnya agar dapat diserap dan digunakan secara optimal oleh hewan. Berikut proses pencernaan karbohidrat, lipid dan protein.
-       Pencernaan Karbohidrat
Di dalam mulut, karbohidrat dalam makanan dicerna secara mekanik (dengan bantuan gigi) dan secara enzimatik (oleh enzim ptyalin/amylase ludah). Selain mengandung enzim amylase, air ludah juga berperan penting untuk membasahkan makanan sehingga mudah ditelan.
-       Pencernaan Protein
Apabila dalam lambung terdapat protein, sel dinding lambung akan menghasilkan gastrin, yaitu senyawa kimia yang merangsang lambung untuk mengeluarkan HCl dari sel parietal, dan pepsinogen dari sel kepala (chief cells). Selanjutnya, enzim pemecah protein (proteolitik) akan menguraikan protein dengan cara memutuskan ikatan peptide pada protein sehingga dihasilkan asam amino.
-       Pencernaan Lipid
Pencernaan lipid baru dimulai pada saat bahan makanan sampai di usus. Pencernaan ini terjadi dengan bantuan enzim lipase usus, lipase lambung dan lipase pankreas. Lipase akan menghidrolisis lipid dan trigliserida menjadi digliserida, monogliserida, gliserida dan asam lemak bebas. Lipase dalam bentuk zimogen (prolipase) akan diaktifkan oleh protein khusus dari sel epitel usus (disebut kolipase) sehingga dapat memecah lipid menjadi asam lemak.

Menurut Marsland (1945), saluran pencernaan seperti vertebrata pada umumnya adalah sistem tubular, memiliki sejumlah karakteristik dan komposisi dari beberapa bagian. Makanan yang tertelan melalui mulut ke dalam rongga mulut, dimana itu dikunyah dan dicampur dengan air liur. Kemudian makanan ditelan dan berlalu dengan cepat melalui kerongkongan pharynx pendek dan panjang ke perut.

Menurut Yuwono dan Purnama (2001), pencernaan protein oleh enzim protease yang terdiri dari enzim eksopeptidase. Enzim tersebut terdapat pada hewan avertebrata dan vertebrata yang hidup di perairan. Pencernaan lemak oleh lipase juga terdapat pada hewan avertebrata dan vertebrata. Pencernaan karbohidrat, hidrolisis oleh amilase, katalisis dan sukrose, prosesnya serupa pada hewan avertebrata dan vertebrata. Pencernaan selulosa memerlukan selulosa yang dihasilkan oleh bakteri simbiotik.

1.6 Proses Pencernaan (Fisika dan Kimia)
Menurut Yuwana dan Purnama (2001), berdasarkan perangkat yang digunakan pencernaan pada hewan terjadi secara mekanik dan kimiawi.
1.      Pencernaan mekanik menggunakan taring misalnya pada ikan untuk menggigit. Beberapa hewan air juga menggunakan gigi untuk menggigit dan mengoyak pakan misalnya pada ikan lele. Struktur tembolok pada hewan air (pada ikan dan udang) juga digunakan untuk pencernaan mekanik. Sebanyak 85% ikan teleostei memiliki lambung yang digunakan untuk pencernaan mekanik.
2.      Pencernaan kimiawi melibatkan enzim (contohnya protease, lipase, amilase) sebagai katalisator untuk mempercepat prosesnya. Dalam kondisi normal reaksi berjalan lambat tetapi dengan hidrolisis dan kerja enzim reaksi kimia berjalan lebih cepat. Pencernaan protein oleh enzim protease yang terdiri atas enzim eksopeptidase dan endopeptidase. Enzim tersebut terdapat pada hewan avertebrata dan vertebrata yang hidup di perairan. Pencernaan lemak oleh lipase juga terdapat pada hewan avertebrata dan vertebrata. Pencernaan karbohidrat, hidrolosis oleh amylase, katalisis oleh sukrase, prosesnya serupa pada hewan avertebrata dan vertebrata. Pencernaan selulosa memerlukan selulose yang dihasilkan oleh bakteri simbiotik.

Menurut Meitanisyah (2009), pencernaan secara fisik dan mekanik dimulai dengan berperannya gigi pada proses pemotongan dan penggerusan makanan. Pencernaan secara mekanik ini juga berlangsung di segmen lambung dan usus terjadi lebih efektif oleh karena adanya peran cairan digestif. Pada ikan, pencernaan secara kimiawi dimulai di bagian lambung hal ini dikarenakan cairan digestif yang berperan dalam proses pencernaan secara kimiawi mulai dihasilkan di segmen tersebut yaitu diekskresikan oleh kelenjar lambung. Pencernaan ini selanjutnya disempurnakan di segmen usus. Cairan digestif  yang berperan pada proses pencernaan di segmen usus itu sendiri.  Kombinasi antara aksi fisik dan kimiawi inilah yang menyebabkan perubahan makanan dari yang asalnya bersifat kompleksmenjadi senyawa sederhana atau yang asalnya berpartikel mikro inilah makanan menjadi zat terlarut yang memungkinkan dapat diserap oleh dinding usus selanjutnya diedarkan ke seluruh tubuh.

Empat komponen dari system enzim proteolik yang dijelaskan untuk Helix telah diisolasi dari kelenjar midgut dari kepiting Maia Squinodo. Protease ini sangat mirip di alam dengan vertebrata triptic protease. Protease dan polipeptidase ditemukan yang dikumpulkan dari perut dari Astacus lobster. amylase dan maltase hadir dalam astacus. amylase dan maltase di lambung dari astacus dan protease, amylase dan lipase di usus daphnia Cladocera (Scheer, 1945) .

1.7 Struktur dan Fungsi Saluran Pencernaan
Menurut Triastuti (2009), mencerna makanan merupakan suatu proses di dalam tubuh yang menyederhanakan bahan-bahan makanan yang berguna bagi tubuh. Sistem pencernaan meliputi organ yang berhubungan dengan pengambilan makanan, mekanisnya dan penyedia bahan-bahan kimia serta pengeluaran sisa makanan yang tidak tercerna daari tubuh. Beberapa fungsi yang dilakukan oleh saluran pencernaan, yaitu :
1.    Mendorong atau mengaduk isi dari gastrointestine
2.    Mensekresi cairan-cairan pencernaan
3.    Mencerna makanan
4.    Mengabsorpsi makanan.

Menurut Handajani dan Wahyu (2010), secara anatomis, struktur alat pencernaan ikan berkaitan dengan bentuk tubuh, kebiasaan makan, dan kebiasaan memakan (kategori ikan) serta umur (stadia hidup) ikan memakan.
1.    Mulut
Bagian terdepan dari mulut adalah bibir. Pada tertentu, bibir ini tidak berkembang dan malahan hilang secara total, karena digantikan oleh paruh atau rahang, seperti ditemukan pada ikan family Scaridae, Diodontidae, Tetraodontidae dan lain-lain. Ukuran makanan suatu jenis ikan ditentukan oleh ukuran bukaan mulut ikan.
2.    Rongga Mulut
Di belakang mulut terdapat ruang yang disebut rongga mulut. Rongga mulut ini berhubungan langsung dengan segmen faring, oleh karenanya rongga mulut dan faring ini sering disebut rongga “Buccopharynx”. 
3.    Faring
Bagian insang yang mengarah ke segmen faring adalh tapis insang. Pada ikan yang cara memperoleh makanannya dengan menyaaring organism air (plankton), maka proses penyaringan terjadi di segmen ini.
4.    Esofagus
Esophagus ikan laut berperan dalam penyerapan garam melalui difusi pasif sehingga konsentrasi garam air laut yang diminum menurun, sehingga memudahkan penyerapan air oleh usus belakang dan rectum.
5.    Lambung
Besarnya ukuran lambung ini berkaitan dengan fungsinya sebagai penampung makanan.
6.    Pilorus
Hal yang mencolok pada segmen ini adalah adanya penebalan lapisan otot melingkar yang mengakibatkan terjadinya penyempitan saluran. Dengan menyempitnya saluran pencernaan pada segmen ini bahwa segmen pylorus berfungsi sebagai pengatur pengeluaran makanan dari lambung ke segmen usus.
7.    Usus
Usus merupakan tempat terjadi proses penyerapan zat makanan.
8.    Rectum
Seperti halnya pada hewan lain, segmen rectum berfungsi dalam penyerapan air dan ion. Pada larva ikan, rectum berfungsi sebagai penyerapan protein.
9.    Kloaka
Kloaka adalah ruang bermuaranya saluran pencernaan dan saluran urogenital. 
10.  Anus
Anus merupakan ujung dari saluran pencernaan. Pada ikan bertulang sejati anus terletak di sebelah depan saluran genital.


1.8 Manfaat Kandungan Pakan Ikan
1.8.1 Pakan Alami
Pakan alami adalah pakan yang diberikan kepada ikan budidaya yang diperoleh langsung dari alam atau diproduksi melalui kultur (pemeliharaan), pakan alami dapat berupa hewan atau tumbuhan. Pakan alami ini dapat langsung diberikan kepada ikan budidaya di wadah budidaya tanpa harus diolah. Yang perlu diperhatikan adalah kandungan gizi pakan alami tersebut, juga dampak lain dari pakan itu. Oleh karena itu, jenis pakan alami yang hendak digunakan harus diketahui zat-zat yang dikandungnya serta dampaknya terhadap air maupun ikan (Kordi, 2004).

Menurut Djarijah (1995) dalam Soedibya dan Siregar (2007), pakan ikan alami merupakan makanan ikan yang tumbuh di alam tanpa campur tangan manusia secara langsung. Pakan alami yang sering digunakan sebagai makanan alami ikan meliputi plankton, benthos, tumbuhan air, detritus dan serasah.
1.8.2    Pakan Buatan
Pakan buatan adalah pakan yang diberikan kepada ikan budi daya yang telah diolah menjadi satu ramuan komplet, seperti pellet. Pellet jagung yang diberikan kepada ikan budi daya harus dipilih sesuai dengan kebutuhan gizi untuk ikan. Pellet juga tidak berasal dari bahan baku yang beracun atau kadaluarsa (Kordi, 2004).

Menurut Akbar dan Sudaryanto (2001) dalam Sari et al.,(2009), pakan buatan adalah pakan yang sengaja dibuat dari beberapa jenis bahan baku. Pakan buatan yang baik adalah pakan yang mengandung gizi yang penting untuk ikan, memiliki rasa yang disukai oleh ikan dan mudah dicerna oleh ikan.
              
1.9  Jenis Makanan Pada Ikan
Menurut Yuwono dan Purnama (2001), berdasarkan tipenya, pakan hewan air dapat dielompokkan sebagai berikut ;
  • Pakan partikel kecil  bakteri, algae- metodenya antara lain menggunakan silia, menyaring amoeba radiolaria, ciliate, bivalvia, gastropoda, crustacean.
  • Pakan partikel besar diperoleh dengan menangkap dan menelan mangsa ikan karnivora, herbivora, dan omnivore
  • Pakan molekul organic terlarut diperoleh melalui aptik dari perairan sekitarnya, misalnya pada avertebrata laut kecuali arthropoda.
  • Pakan nutrient dari organisme simbiotik, dimana hewan memperoleh pakannya melalui simbiosa, misalnya pada zooxanthel dan porifera

  • Menurut Saryam (2010), jenis-jenis pakan ikan ;
  • Pakan hidup terdiri dari ikan hidup, cacing, invertebrate aquatic, seperti daphnia atau artemia, larva serangga seperti bloodwarm dan jentik nyamuk infusaria, rotifer, paramecium.
  • Pakan segar, pemberian pakan binatang lain, seperti pakan untuk mamalia atau burung, walaupun sebelumnya sering digunakan kaya dengan asam-asam lemak tapi dari jenisyang salah, sehingga perlu diseleksi dengan baik atau dihindarkan.
  • Pakan beku, keuntungan dari pakan beku adalah tersedia sepanjang tahun, sehingga dapat mengatasi kendala musim.
  • Pakan botolan, pakan botolan terdiri dari jenis pakan hidup merupakan yemuan yang relative baru dan masih terus dikembangkan.
  • Pakan beku kering, keuntungannya pakan relative steril dari penyakit dan tersedia berbagai bentuk pakan
  • Pakan kering, pakan kering cocok untuk ikan karnivora, herbivora dan omnivora.


1.10 Komposisi Pakan (Pelet,Tubifex kering,Chironomus beku, Lumut jaring dan Daun bayam)

a.    Pellet
Menurut Handayani dan Wahyu (2010), pakan buatan adalah pakan yang dibuat dengan formulasi tertentu berdasarkan pertimbangna kebutuhannya. Pembuatan pakan sebaiknya didasarkan pada pertimbangan kebutuhan nutrisi ikan, kualitas bahan baku dan nilai ekonomis. Dengan pertimbangan yang baik, dapat dihasilkan pakan buatan yang disukai ikan, tidak mudah hancur dalam air.

Pellet merupakan bentuk p`kan yang paling sesuai untuk ikan, karena teksturnya halus kompak nilai gizi merata, dan mudah pemberiannya. Filler (bahan pengisi) dalam pembuatan pellet dapat digunakan pakan remah, tepung tapioca dan tepung jagung (Haetami et al, 2006).
b.    Daun bayam
Hijauan segar merupakan bahan-bahan makanan yang langsung dicampurkan dalam bentuk segar. Umumnya kadar air hijauan segar sangat tinggi sekitar 90 %. Contoh yang dapat dikemukakan adalah rumput-rumputan, karang-karangan ( legume) dan daun turi (Sesbania glandifora) (Handajani dan Wahtu, 2010).

Menurut Sumpena (2008), bayam (Amaranthus tri color) salah satu sayuran daun yang mempunyai nilai nutrisi tinggi karena bayam sayur mengandung vitamin A (beta carotin) C; riboflavin dan asam volik yang keduanya adalah elemen penting vitamin B kompleks dan juga asam amino tianin dan niacin. 
c.      Tubifex
Menurut Satyantini (2008), cacing Tubifex spp juga memiliki serat kasar yang sangat rendah yaitu 0,29 % sehingga lebih disukai dan sangat mudah dicerna dengan sempurna oleh larva ikan lele dumbo yang nantinya berpengaruh terhadap pertumbuhan. Kandungan protein cacing Tubifex spp dapat mencapai 48,56% sehingga pemberian cacing Tubifex spp dapat memenuhi kebutuhan protein larva ikan lele dumbo.

Menurut Subandiyah et al ( 2003), cacing Tubifex sp merupakan pakan alami yang paling disukai oleh ikan air tawar. Pakan caing Tubifex sp mempunyai beberapa keuntungan antara lain ; pergerakannya relative lambat sehingga member rangsangan bagi ikan untuk memakan, ukurannya sesuai dengan bukaan mulut ikan mempunyai kandungan protein yang tinggi dan mudah dicerna.
d.    Chironomus
Menurut Said et al (2006), kandungan nutrisi persen berat beberapa jenis pakan alami chironomus terdiri dari 87,64% kadar air, 56,60% protein, 2,86% lemak, 4,94% abu, 26,24% serat.

Menurut Chumaidi dan Riyadi (1989) dalam Nasution (2002), bahwa pakan alami Chironomus sp mengandung lemak 2,86%, dan protein 56,6% sedangkan diketahui bahwa proses pertumbuhan bukan hanya dipicu oleh tingginya nilai protein namun juga dipengaruhi oleh kandungan lemak, khususnya asam lemak tidak jenuh ganda (PUFA).
e.   Lumut jaring
Menurut Damayanti (2006) dalam Fadhila (2010), lumtu merupakan rumah bagi invertebrate yang memiliki peran yang penting alam menjaga porositas tanah dan mengatur kelembapan ekosistem. Karena kemampuannya dalam menahan dan menyerap air.Para ahli sudah mulai banyak meneliti komposisi zat yang dikandung lumut.Beberapa diantaranya mengandung senyawa antibiotic dan zat lain yang memiliki khasiat obat.

Cladophora adalah algae yang berbentuk benang bercabang hijau.Ganggang ini bersifat kering dan tidak berlendir.Bentuk benang atau jaringnya sangat kuat dan sangat tipis.Tumbuh pada batu dan kayu yang terendam dan terkena cahaya secara langsung, dalam kasus yang sangat buruk akan tumbuh pada tanaman juga.Biasanya cenderung tinggal di satu titik, yang membuatnya mudah untuk dihilangkan (Admin,2010).

1.11    Faktor yang Mempengaruhi GET
Menurut Windell (1978) dalam Haetami et al (2007), laju pengosongan lambung dapat didefinisikan sebagi laju dari sejumlah pakan yang bergerak melewati saluran pencernaan persatuan waktu tertentu, yang dinyatakan sebagai gr/jam atau mg/menit. Faktor-faktor yang mempengaruhi laju pengosongan lambung yaitu suhu air, ukuran tubuh, jumlah pakan yang tersedia, frekuensi makan, ukuran partikel pakan, pergerakan fraksi pakan tercerna atau tidak tercerna, serta pemuasaan dan pemaksaan ikan.

Menurut Seyhan (2007), pentingnya tingkat pengosongan lambung didasarkan pada asumsi bahwa periode waktu lebih lama tingkat dimana makanan telah dievakuasi oleh perut sama dengan tingkat makanan yang tertelan atau masuk. Jumlah makanan yang dikonsumsi oleh ikan yang biasanya telah diperkirakan setiap hari. Penentuan asupan makanan dari isi perut membutuhkan tingkat perkiraan pengosongan lambung.

1.12   Faktor yang Mempengaruhi Digestibility
Menurut Weichert (1959), fungsi utama dan system lambung adalah untuk menyimapan makanan, sehingga mereka dapat menyeimbangkan tubuh yang digunakan dalam pertumbuhan, pemeliharaan struktur tubuh dan untuk menghasilkan energy. Fungsi dasar dari lambung adalah menghancurkan molekul komplek yang berasal dari makanan melalui berbagai macam perubahan kimia menjadi molejul yang lebih sederhana.Struktur yang lebih sederhana tersebut diabsorbsi di dalam dinding lambung dan masuk ke dalalm pembuluh darah kecil atau lateral pada system limfa (jika makanan dalam bentuk lemak dan minyak).

Kapasitas lambung dan laju pakan dalam saluran cerna merupakan variable dari daya cerna. Ikan yang berbobot lebih cepat dibandingkan ikan yang berbobot lebih besar, sehingga jumlah pakan relative (%bobot tubu/hari semakin kecil) (Vahl et al, 1979). Akan tetapi semakin besar ukuran ikan, daya cerna komponen serat semakin baik.Selain factor ukuran, daya cerna dipengaruhi oleh komposisi pakan, jumlah komposisi pakan, status fisiologi, dan tata laksanan pemberian pakan.Menurut Wang et al (1989), frekuensi pemberian 2 atau 3 kali sehari cukup menghasilkan konsumsi maksimum dapat digunakan dalam penelitian daya cerna (Agung et al, 2007).


3. DATA HASIL PENGAMATAN

3.1 Digestibility
Kelompok
Perlakuan
BTM
BTF
Digestibility(%)
1
Lumut jaring
0,3 gr
0,04 gr
86,67%
2
Tubifex
2,48 gr
0
100%
3
Chironomus
0,9 gr
0.03 gr
06,67%
4
Pellet
0,423 gr
0,13 gr
69,26%
5
Daun bayam
1,6 gr
0,019 gr
99%
6
Lumut jaring
0,205 gr
0,13 gr
36%
7
Tubifex
1,98 gr
0,03 gr
98,48%
8
Chironomus
1,28 gr
0,02 gr
98,4%
9
Pellet
2,06 gr
0,03 gr
98,54%
10
Daun bayam
1,094 gr
0,06 gr
94,5%

3.2   GET
Tabel GET 1 jam
Kelompok
Perlakuan
(Jam)
Berat
LnW0
lnWt
b
GET
(Jam)
W0(gr)
Wt(gr)
1
Lumut jaring
0,16
0,25
-1,83
-1,38
-0.83

2,2
1,74
2
Tubifex
0,55
0,54
-0,59
-0,62
3x10-2
19,67
17,67
3
Chironomus
0,37
0,18
-0,99
-1,7
0,79
1,25
1,15
4
Pellet
0,05
0,25
-2,99
-1,514
-80,5
0,037
-0,943
5
Daun bayam
0,33
0,22
-1,108
-1,04
0,45
2,46
2,539
6
Lumut jaring
0,048
0,35
-3,04
-8,95
-8,95
0,31
0,49
7
Tubifex
0,39
0.14
-0,94
-1,966
-1,96
0,78
0,62
8
Chironomus
0,56
0,47
-0,579
-0,755
-0,75
3,29
3,28
9
Pellet
0,4122
0,26
-0,89
-1,35
-1,35
0,92
0,4
10
Daun bayam
0,379
0,12
-0,97
-2,1
-1,27
0,760
0,66


Tabel GET 2 jam
Kelompok
Perlakuan
(Jam)
Berat
LnW0
lnWt
b
GET
(Jam)
W0(gr)
Wt(gr)
1
Lumut jaring
0,10
0,21
-2,3
-1,56
-0,46
5
4,61
2
Tubifex
1,16
0,28
0,14
-1,27
0,72
0,19
0,25
3
Chironomus
0,32
0,29
-1,14
-1,2
0,03
38
37,984
4
Pellet
-
-
-
-
-
-
-
5
Daun bayam
0,5
0,22
-0,693
-1,514
0,41
1,69
1,686
6
Lumut jaring
0,034
0,35
-3,38
-1,05
-2,16
56
0,48
7
Tubifex
0,43
0,40
-0,84
-0,91
0,05
16,8
16,15
8
Chironomus
0,41
0,46
-0,89
-0,776
-0,058
15,34
15,303
9
Pellet
0,594
0,46
-0,52
-0,78
1,36
0,38
0,28
10
Daun bayam
0,447
0,16
-0,805
4,833
0,539
1,493
1,399

Tabel GET 3 jam
Kelompok
Perlakuan
(Jam)
Berat
LnW0
lnWt
b
GET
(Jam)
W0(gr)
Wt(gr)
1
Lumut jaring
0,18
0,11
-1,7
-2,2
0,13
13,08
12,85
2
Tubifex
1,2
0,18
0,18
-1,7
0,47
0,38
0,4
3
Chironomus
0,62
0,1
-1,42
-2,3
0,29
4,89
3,91
4
Pellet
0,028
0,24
-3,57
-1,43
-0,89
4,01
2,41
5
Daun bayam
0,62
0,18
-0,478
-1,714
0,412
1,160
0,16
6
Lumut jaring
0,132
0,19
-2,02
-1,66
-0,09
22,4
22,31
7
Tubifex
0,78
0,29
-0,24
-1,23
0,99
0,24
0,08
8
Chironomus
0,43
0,42
-0,843
-0,867
6.10-3
140,03
140,01
9
Pellet
0,5
0,27
-0,69
-1,3
0,16
4,33
4,5
10
Daun bayam
0,651
0,27
-0,429
-1,309
0,228
1,88
1,735



4. Pembahasan

4.1 Analisa Prosedur
4.1.1 Digestibility/Daya Cerna
Dalam Praktikum Fisiologi Hewan Air, Bab Pencernaan mengenai daya cerna/digestibility, alat-alat yang perlu disiapkan adalah toples sebagai tempat media pengamatan, timbangan digital untuk menimbang, sectio yang berfungsi untuk membedah ikan, hot plate untuk memanaskan feses serta nampan sebagai alas untuk menimbang ikan serta tempat untuk meletakkan alat dan bahan. Sedangkan, bahan-bahan yang perlu disiapkan adalah lumut jaring sebagai pakan alami nabati, sebagai pakan buatan, tubifex kering serta chironomous sebagai pakan alami hewani, ikan nila (Oreocrhomis niloticus) sebagai objek yang diteliti, serta kertas saring sebagai alas untuk menimbang, dan lap basah untuk membekap ikan nila.

Setelah semua alat dan bahan siap, maka pertama-tama, toples diisi air sampai ¾ bagian, yang diasumsikan sebanyak 2 liter. Tujuan dari penggunaan toples adalah karena memiliki kaca yang ambung, sehingga mempermudah pengamatan. Sementara itu, ikan nila (Oreocrhomis niloticus) diambil dan ditimbang berat awalnya. Cara menggunakna timbang digital yaitu pertama-tama timbangan dihubungkan dengan arus listrik, kemudian ditekan tombol dan diletakkan nampan dan lap basah diatasnya lalu ditekan tombol “zero”. Setelah pada layar menunjukkan angka 0, lalu diletakkan ditimbang berat pakan yang dibutuhkan, yaitu sebanyak 5% dari berat awal tubuh ikan. 5% berat pakan disini adalah konversi maksimum dari berat tubuh ikan. Pakan yang digunakan dalam pada kelompok 5 adalah pakan alami nabati, yaitu yang berasal dari lumut jaring. Cara menggunakan timbangannya adalah pertama-tama timbangan dihubungkan dengan arus listrik, kemudian ditekan tombol “TARE”. Setelah itu, kaca pada timbangan dibuka dan dimasukkan kertas sebagai alas menimbang, lalu ditutupi kacanya dan ditekan tombol “Tare”. Setelah itu kaca dibuka dan ditimbang lumut jaring sesuai dengan kebutuhan sampai angka pada layar menunjukkan 5% dari berat tubuh ikan. Kemudian lumut jaring tersebut diberikan pada ikan nila (Oreochomis niloticus) dan dibiarkan dengan waktu selama 1 jam (kelompok ganjil). Sementara menunggu ikan, langkah selanjutnya adalah menimbang kertas saring. Cara penimbangannya sama dengan cara penimbangan pada lumut jaring.

Setelah 1 jam, ikan kemudian diambil dan ditusuk pada bagian medulla oblongata agar ikan mati. Setelah mati, ikan kemudian dibedah dengan menggunakan sectio set. Cara pembedahannya dimulai dari anus sampai kebagian belakang operculum. Bagian yang dibedah adalah sebelah kiri, karena penampang organ yang kelihatan lebih jelas. Kemudian diambil organ pencernaannya, utamanya pada usus besar untuk diambil fesesnya. Setelah feses diambil dan diletakkan diatas kertas saring, dan dipanaskan diatas hot plate selama 3 menit. Cara penggunaan hot plate adalah dihubungkan dengan arus listrik. Setelah 3 menit, feses ikan tadi kemudian ditimbang beratnya dengan menggunakan timbangan analitik. Yaitu pertama-tama timbangan dihubungkan dengan arus listrik dan ditekan tombol on serta rezero. Kemudian diletakkan feses beserta kertas saring tadi diatasnya sehingga diketahui beratnya. Kemudian dihitung nilai digestibility dengan menggunakan rumus : x 100%, dimana BTM merupakan berat total makanan dan BTF merupakan Berat Total Feses dalam gram, dimana berat feses merupakan hasil dari berat ketika ditimbang dengan timbangan analitik dikurangi berat kertas saring.


4.1.2 GET (Gastric Evacuation Time)
Dalam Praktikum Fisiologis Hewan Air bab pencernaan, untuk praktikum GET, alat-alat yang perlu disiapkan adalah toples kapasitas 2 liter sebagai tempat media pengamatan, geser untuk mengambil ikan, nampan sebagai alat untuk menimban. Sectio set untuk membedah ikan, serta timbangan digital untuk menimbang berat ikan. Sedangkan, bahan yang perlu disiapkan adalah 3 buah ikan nila (Oreochomis niloticus) dengan berat yang kurang lebih sama atau hampir sama, kertas saring sebagai alas saat menimbang, lap basah untuk membekap ikan, air sebagai media tempat pengamatan, kertas label untuk memberi tanda pada toples serta, pakan yang dibutuhkan, yaitu pallet, lumut jaring, tubifex kering, serta chironomous.

Pertama-tama disiapkan dahulu 3 buah toples lalu diisi air sampai ¾ bagian. Kemudian, siapkan 3 ekor ikan nila (Oreocrhomis niloticus) yang mempunyai berat yang hampir sama, kemudian ditimbang masing-masing beratnya dengan menggunakan timbangan digital. Caranya adalah pertama-tama timbangan dihubungkan dengan arus listrik, lalu ditekan tombol “ON”. Kemudian letakkan nampan dan lap basah diatasnya lalu tekan tombol rezero. Tujuan penggunaan lap adalah agar ikan tidak melompat saat ditimbang. Setelah diketahui beratnya masing-masing, kemudian masukkan ikan pada toples dan besi label 1 jam, 2 jam dan 3 jam pada setiap toples. Kemudian, ikan diberi makan dengan konversi 1,5% dari berat tubuh ikan. 1,5% merupakan batas konversi terendah pakan karena pengamatan hanya dilakukan selama beberapa jam, sedangkan jika seharian penuh menggunakan konversi minimum pakan yaitu sebanyak 3% dari berat tubuh ikan. Pakan yang digunakan untuk kelompok 5 adalah pakan alami nabati yang berupa lumut jaring. Timbangan yang digunakan adalah timbangan sartonus. Pertama-tama timbangan sartorius. Kemudian dimasukkan kertas sebagai alas menimbang dan ditutupi kacanya dan kemudian ditekan tombol Tare. Setelah itu, ditimbang pakan yang dibutuhkan sesuai dengan bdrat tubuh pada masing-masing ikan, kemudian pakan diberikan kepada ikan dan diamati, serta dicatat waktu pertama kali ikan memakan lumut jaring tersebut lalu ditunggu pengamatan selama 1,2 dan 3 jam.

Setelah ikan nila (Oreochomis niloticus) diamati selama 1 jam, kemudian ikan diambil dan ditusuk pada bagian medula oblongata sehingga ikan mati. Setelah mati, ikan nila (Oreochomis niloticus) kemudian dibedah dengan menggunakan sectio set. Bagian yang dibuka adalah bagian yang sebelah kiri karena mempunyai penampang organ yang lebih jelas. Cara pembedahannya adalah dimulai dari anus sampai kedepan, tepatnya dibelakang operculum. Setelah dibedah, diambil organ pencernaannya dan diambil bagian lambungnya. Kemudian, lambung diletakkan diatas kertas saring yang sudah ditimbang dan ditimbang berat detir (Wt). Kemudian ditimbang dengan menggunakan timbangan sartorius. Begitu juga dengan pengamatan ikan yang selama 2 dan 3 jam. Setelah diketahui berat lambung pada masing-masing ikan, kemudian dihitung nilai GET-nya dengan menggunakan rumus :
Wt        = berat lambung pada saat (t) jam
Wo       = berat makanan yang diberikan (gr)
b          = koefisien pencernaan/daya cerna (gr/jam)
t           = waktu yang dibutuhkan dalam pengamatan (jam)
a          = tenggang waktu pemberian pakan dan pertama kali makan (jam)
Setelah dihitung dengan rumus tersebut, dapat diketahui perbedaan GET setiap jamnya.


4.2 Analisa Hasil
4.2.1 Digestibiliy
Dari data pengamatan praktikum mengenai pencernaan tentang daya cerna atau digestibility kelompok 1 yang menggunakan Ikan nila (Oreochromis niloticus)  dengan diberi perlakuan pakan lumut jarring, didapatkan nilai BTM atau Berat Total Makan adalah 0,3 gram. Sedangkan BTF atau Berat Total Feses setelah diberi pakan pada selang waktu 1 jam adalah 0,04 gram. Setelah dilakukan perhitungan, dengan cara nilai BTM dikurangi BTF dan hasilnya dibagi BTM lalu dikalikan dengan 100%. Maka di dapat hasil 6,67% sebagai nilai digestibility atau daya cerna Ikan nila (Oreochromis niloticus). Nilai digestibility dan Ikan nila (Oreochromis niloticus) yang di dapatkan hampir mencapai 100% menunjukkan daya cerna ikan pada kelompok kami sangat baik, mengingat tidak semua ikan dapat memiliki kemampuan daya cerna yang mendekati 100%.

Menurut Suryantini et.al (2008), cacing tubifex spp merupakan pakan alami yang mudah dicerna oleh larva ikan lele. Tekstur tubuh cacing tubifex spp yang cenderung lunak akan memudahkan pemangsaan oleh larva ikan lele dumbo.

 Analisa Grafik Digestibility

Dari grafik di atas tampak dapat diketahui nilai digestibility terendah pada kelompok 6, dan nilai digestibility nya rata – rata hampir sama dari kelompok 1,3,5,7,8,9,10 mempunyai nilai digestibility 90% ke atas. Pada kelompok 4 digestibility sekitar 70%. Perbedaan nilai digestibility dikarenakan jenis pakan yang berbeda. Perbedaannya antara pakan alami, hewani dan buatan. Grafik digestibility yang persentasenya hampir mendekati 100% pada kelompok 2. Hal tersebut karena pada kelompok 2 dengan menggunakan pakan tubifex kering. Pada kelompok 1 dan kelompok 6 grafiknya sedikit rendah dari kelompok lain. Hal tersebut dikarenakan pakan menggunakan lumut jaring, karena merupakan pakan alami nabati yang memiliki serat tinggi dan susah di cerna bagi ikan. Pada kelompok 2 dan kelompok 7 grafiknya hampir mendekati 100%. Hal tersebut dikarenakan pakan menggunakan tubifex kering, karena tubifex mudah di cerna karena bentuknya ringan dan berbentuk padat. Pada kelompok 3 dan kelompok 8 menggunakan pakan chironomous yang terbuat dari cacing dan di bekukan, dan merupakan pakan alami hewani yang mudah dicerna lambung. Pada kelompok 5 dan kelompok 10 menggunakan pakan daun bayam. Pakan ini susah dicerna oleh ikan di karenakan pakan tersebut berserat tinggi dan ikan tidak mempunyai enzim selulosa dan sulit untuk dicerna oleh ikan.

1.2.2  GET (Gastric Evacuation Time)
     Pada praktikum Fisiologi Hewan Air, tentang GET (Gastric Evacuation Time) diperoleh hasil sebagai berikut. Pada kelompok 6 yang dilakukan percobaan GET selama 1-4 jam dengan pakan alami lumut jaring dengan konversi 1,5 % dari berat tubuh ikan didapat 0,49 yang merupakan hasil terendah karena menggunakan lumut jaring yang mempunyai sifat lebih cepat dicerna. Dan kelompok 2 dengan pakan tubifex sp menghasilkan GET tertinggi sebesar 19,67 untuk GET 2 kelompok 6 memperoleh hasil 0,48 sedangkan GET terendah  dimiliki kelompok 4 yaitu o karena pakan masi belum sampai ke lambung dan GET tertinggi dimiliki kelompok dengan pakan chironomous sp sebesar 37,98 untuk GET 3 kelompok 6 menghasilkan nilai sebesar 4,23 sedangkan GET terendah dimiliki kelompok 2 dengan pakan tubifex sp  yaitu sebesar 0,31 dan GET yang dimiliki kelompok 1 yaitu 13,68 dengan pakan lumut jaring . untuk GET 4 kelompok 6 memperoleh nilai GET 22,49 merupakan terendah sedangkan GET tertinggi yang dimiliki  kelompok 8 yaitu 0,015 dengan pakan chironomous sp. Nilai GET nya tertinggi karena waktu dinilainya  waktu dimulai pencernaan ikan terlalu cepat makan dan GET terendah yang dimiliki kelompok 7 yaiyu 0,08 dengan pakan tubifex sp  sedangkan dari GET kelompok 1,2,3,4  tertinggi dimiliki oleh kelompok dengan pakan alami hewani. Dhsini erdapat sedikit perbedaan sedangkan GET terendah dimiliki kelompok dengan pakan alami nabati.

Menurut salvanes et al (1995), Sweka et al (2004) dalam Hannah (2004), Lambung menilai tindakan Evakuasi Kecep`tan Yang bermuara sisa mangsa diperut waktu setelah makan. Pola evakuasi lambung dapat dipengaruhi oleh sejumlah faktor termasuk suhu, krakteristik dari predato dan karakteristik dari mangsa .

Dan juga menurut Haetami (2002), ikan yang berbobot tubuh perjam dari dalam lambungnya lebih cepat dibanding ikan yang berbobot tubuh perbobot lebih besar, sehingga jumlah konsumsi pakan relatif 1% bobot tubuh/ hari semakin kecil.


Analisa Grafik
·       GET 1 jam


Dari grafik yang tertera di atas dapat dilihat bahwa grafik tertinggi ditunjukkan oleh kelompok 2 dengan pemberian pakan pelet . Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin beda jenis pakan yang diberikan maka semakin besar nilai GET. Hal tersebut diyakinkan oleh Handajani dan Wahyu  (2010), pakan buatan adalah pakan yang dibuat dengan formulasi berdasarkan pertimbangan kebutuhannya pembuatan pakan sebaiknya didasarkan pada pertimbangan kebutuhan nutrisi Ikan kualitas bahan baku dan nilai ekonomis.

·       GET 2 jam

Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa grafik tertinggi ditunjukkan dari kelompok 3 yaitu diberi perlakuan Chironomous sp yaitu grafik terendah adalah nilai GET dari kelompok 2 dan 4 sebesar 0,00 karena tidak ada aktivitas makan dengan menggunakan pelet.

Menurut Kordi (2004), Pakan alami adalah pakan yang diberikan kepada ikan budidaya yang diperoleh langsung dari alam atau produksi langsung melalui kultur (pemeliharaan). Pakan alami didapat berupa hewan atau tumbuhan. Pakan alami ini dapat langsung diberikan kepada ikan budidaya diwadah budidaya tanpa harus diolah.

·       GET 3 jam

Dari grafik yang dilihat bahwa nilai GET tertinggi dari kelompok 8 yaitu sebesar 26,5 dan nilai GET terendah dari kelompok 2 yaitu 0,31 Hal ini dapat disimpulakan bahwa semakin bervariasi jenis makanannya, semakinbesar nilai GET nya. Jika semakin sedikit waktu yang diberikan.

·       GET 4 jam

Dari grafik yang ada di atas dapat dilihat bahwa nilai GET tertinggi adalah pada kelompok 8 sebesar 140,015 dengan menggunakan pakan Chironomous sp dan nilai GET terendah adalah kelompok 7 sebesar 0,08 yang menggunakan pakan tubifex kering sulit dicerna dan lama waktunya. Semakin banyak jenis makanannya semakin besar nilai GET nya.

4.3 Hubungan GET Dengan Digestibility
Hubungan digestibility dan GET (Gastric Evacuation Time) adalah apabila nilai dari digestibility meningkat, maka nilai GET akan menurun. Hal ini sangat erat hubungannya dengan waktu yang digunakan dalam pengamatan. Hal itu berarti bahwa waktu adalah faktor penting dalam hubungannya antara, digestibility dengan GET. Hal ini sesuai dengan pernyataan Haetami (2002), hubungan laju digesti dengan lamanya waktu dapat diikat dari pengertian itu sendiri bahwa laju digesti adalah laju pengosongan lambung, dimana bobot lambung pada saat pertama kali berbeda dengan ikan yang telah mencerna makanannya. Maka keadaan lambung pada saat itu dalam keadaan kosong kembali. Jika pakan ikan yang dicerna adalah berasal dari tumbuh-tumbuhan.

Begitu pula pada pernyataan Hannan (2004), suhu berpengaruh terhadap laju pengosongan isi lambung (digestion rate), semakin tinggi suhu (mendekati optimum) akan semakin cepat laju pencernaannya. Dan untuk suatu kondisi suhu tertentu, biasanya tingkat konsumsi makanan (ration) berpengaruh terhadap laju pengosongan lambung laju (pencernaan). Dapat disimpulkan bahwa makin tinggi suhu, makin besar nilai digesty dan tentu akan mempercepat laju pengosongan lambung.




4.3  Faktor Koreksi
Dalam Praktikum Fisiologi Hewan Air bab Pencernaan, terdapat beberapa faktor koreksi, sebagai berikut :
·      Ikan yang digunakan terlalu kecil, sehingga organ yang didapatkan kecil dan sulit untuk diamati
·      Sectio rate yang digunakan pada kelompok 5 tidak ada guntungnya, sehingga perlu pinjam pada kelompok lain dan memperlambat praktikum
·      Pisau pada sectio set berkarat, sehingga tidak bisa digunakan
·      Aquarium yang digunakan kotor dan belum dibersihkan, sehingga banyak feses didalamnya, sehingga ada kemungkinan feses tersebut dimakan oleh ikan

4.4 Manfaat Dibidang Perikanan
Manfaat dari Praktikum Fisiologi Hewan Air bab Sistem Pencernaan adalah sebagai berikut:
·      Dapat mengetahui sistem pencernaan serta organ-organ dalam sistem pencernaan
·      Dapat mengetahui daya cerna ikan dengan menggunakan pakan buatan, pakan alami hewani serta pakan alami nabati
·&nbrp;     Dapat mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi digestibility dan GET (Gastric Evacuation Time)
·      Dapat mengetahui organ-organ pencernaan pada ikan, serta perbedaan organ pencernaan antara lain karnivora, omnivore dan herbivora
·      Dapat mengetahui enzim-enzim yang berperan dalam proses pencernaan







5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari Praktikum Fisiologi Hewan Air, bab Pencernaan adalah sebagai berikut :
·      Pencernaan adalah penyerderhanaan makanan menjadi molekul yang lebih kecil, agar dapat diadsorbsi dan digunakan dalam tubuh
·      Proses pencernaan terjadi secara fisik dan kimiawi
·      Pencernaan secara fisik dimulai dirongga mulut, yaitu dengan berperannya gigi
·      Sedangkan pencernaan secara kimiawi dimulai dibagian lambung dan dibantu dengan bantuan enzim
·      Organ-organ pencernaan secara kimiawi dari mulut, rongga, faring, esophagus, lambung pylorus, usus, rektu dan anus
·      Proses pencernaan terdiri dari proses pencernaan lemak, protein dan karbohidrat
·      Jenis pakan pada ikan terdapat tiga macam, yaitu pakan alami, pakan buatan dan pakan tambahan
·      Pakan alami terbagi atas dua macam yaitu adalah apakah alami nabati (contohnya lumut jaring) dan pakan alami hewani (contohnya tubifex)
·      Faktor yang mempengaruhi digestibility adalah jumlah pakan, komposisi pakan, kondisi fisiologis ikan, serta
·      Faktor yang mempengaruhi digestibility adalah jumlah pakan, komposisi pakan, kondisi fisiologis ikan, serta waktu pemberian pakan
·      Faktor-faktor yang mempengaruhi GET adalah jumlah pakan, komposisi pakan, serta digestibility
·      Berdasarkan pengamatan diatas, nilai digestibility tertinggi adalah pada kelompok 2 yaitu 100 % dengan menggunakan pakan chiromous dan terendah pada kelompok 6 yaitu 36 %.
·      Dalam pengamatan GET 1 jam, nilai tertinggi adalah pada kelompok 8 yaitu 26,5 jam dan nilai GET terendah adalah pada keompok 2 yaitu 0 31 jam
·      Nilai GET tertinggi pada pengamatan 2 jam adalah pada kelompok 3 yaitu 30,02 jam dan nilai GET terendah adalah pada kelompok 4 yaitu 0 jam.
·      Dalam pengamatan GET selama 3 jam, nilai tertinggi adalah pada kelompok 2 yaitu 17,67 jam dan nilai terendah adalah pada kelompok 4 yaitu 0,943 jam.
·      Nilai GET selama 4 jam nilai tertinggi adalah pada kelompok 8 yaitu 140,015 jam dan nilai GET terendah pada kelompok 7 yaitu 0,015 jam

5.2 Saran
Dalam Praktikum Fisiologi Hewan Air bab pencernaan yang harus diperhatikan adalah perhitungan dalam GET, karena jika ada kesalahan dalam perhitungan dapat mempengaruhi semua nilai GET dalam perhitungannya.







DAFTAR PUSTAKA

Admin, 2010. Cladophora Algae. http://aguajaya.com/article/jenis-algae/dadhopora-algae-html. Diakses pada tanggal 9 April 2011 pukul 15.34 WIB
Agung, M.UK, K. Haetami dan Y. Mulyani. 2007. Penggunaan Limbah Kiambang Jenis Duckweeds dan Azola dalam pakan dan implikasinya pada ikan Nilem. FPIK. Universitas Padjajaran
Fadhilla, R. 2010. Aktivitas antimikroba Ekstrak Tumbuhan Lumut Hati (Marchantia paleacea) terhadap bakteri pathogen dan pembusuk makanan. ITB: Bogor.
Haetami, K. 2002. Evaluasi Daya Cerna Pakan Limbah Azoka pada Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma macroponum, Cuver 1818) http://pustaka.unpad.ac.id/wpa . Diakses pada tanggal 3 April 2011 pukul 09.16
Haetami, K., I. Susangka dan I. Maulina. 2006. Suplementasi Asam Amino pada Pelet yang mengandung silase Ampas Tahu dan Implikasinya terhadap pertumbuhan ikan Nila Gift (Oreochromis niloticus). FPIK. UNPAD
Handajani, H. dan W. Widodo.2010.Nutrisi Ikan.UMM Press: Malang
Hannan dan Kristin. 2004. Determination of Gastric Evacuation Face.
Isnaeni, W. 2005. Fisinlogi Hewan. Kanisius. Yogyakarta.
Kimball, J.W. 1994. Biologi Edisi Kelima. Erlangga. Jakarta
Marsland and Douglas. 1945. Principies of Modern Biologi Washington schuare Collage of Arts and Science. New York University
Meitansyah. 2009. Anatomi dan Fisiologi Ikan. http://www.meitansyah.wordpress.com/2009/04/07. Diakses pada tanggal 09 April 2011 pukul 18.51 WIB
Nasution, S. H. 2002. Pengaruh Variasi Lemak terhadap PErtumbuhan Ikan Tilam Lurik Merah (Mastacembelus erythrotarinia, Biekker, 1950) http://iktiologi-indonesia-org/jurnal/21/06-0001.pdf diakses pada tanggal 1 April 2011 pukul 17.02 WIB
Rohman, dan S. Nurul. 2009. Laporan Fisiologi Hewan. http://www.gummyroses.wordpress.com/2009/12/11. Diakses pada tanggal 8 April 2011 pukul 17.02 WIB
Said, D.S., Triyanto dan H. Fauzi, 2006. Adaptasi Jenis pakan untuk pertumbuhan ikan pelangi train Eriatherina werneti. http://www.biotek.lipi.go.id Diaksespada tanggal 8 April 2011 pukul 19.07 WIB
Sari, W.P., Agustoro dan Y. Cahyono.2009. Pemberian pakan dengan Energi yang berbeda terhadap pertumbuhan Benih Ikan Kerapu Tikus (Cromilapiles altivelis). http://ebook.unair.ac.id/data/jurnal/perikanan. diakses pada tanggal 8 April 2011 pukul 19.09 WIB
Saryam, K. 2010. Jenis-jenis pakan ikan. http://kariminsaryam.blogspot.com diakses pada tanggal 5 April 2011 pukul 19.11 WIB
Satyantini, W.H., Hendro P.W. dan A.T. Mukti. 2008. Pengaruh Kombinasi Pakan Alami yang berbeda terhadap Pertumbuhan dan kelulushidupan larva ikan lele Dumbo (Clarias gariepinus) FKH. Universitas Airlangga.
Scheer, B. T. 1945. Comparative Physiology. University of Oragon; London
Soedibyo, P.H.T. dan A. S. Siregar. 2007. Evaluasi Penggunaan Pupuk Biostimulan sebagai Upaya Pengkayaan Pakan Alami dan Percepatan Tumbuh Ikan Gurami (Oreochromus gouramy) pada kolam pembenihan. Fakultas Biologu: Universitas Jendral Sudirman.
Seythan, Kadir, R.M. Evren, H.E. Miral and Semih-E; Sela D. 2003 Die Feeding Periodicity. Gastric Emptying and Estimade Daily Food Consumption of whelic (Ropana vehosa) in the Sauth Eastern Black Sea (Turkey) Navine Ecosystem, India Journal of Marine Science Vol. 23 (3) September 2003, Pg. 249-251.


No comments: