MAKALAH
PENYULUHAN
Faktor
Faktor Yang Mempengaruhi Adopsi Perikanan
OLEH :
KELOMPOK 5
AULIA FIRDAUSI (0910810012)
R ADHARIYAN ISLAMY (0910810063)
KARINA TRIASTARI (0910830036)
FAKULTAS
PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS
BRAWIJAYA
MALANG
2010
PENGERTIAN
ADOPSI
Adopsi adalah keputusan
untuk menggunakan sepenuhnya ide baru sebagai cara bertindak yang paling baik.
Keputusan inovasi merupakan proses mental, sejak seseorang mengetahui adanya
inovasi sampai mengambil keputusan untuk menerima atau menolaknya kemudian
mengukuhkannya. Keputusan inovasi merupakan suatu tipe pengambilan keputusan
yang khas (Suprapto dan Fahrianoor, 2004).
Mardikanto dan Sri
Sutarni (1982) mengartikan adopsi sebagai penerapan atau penggunaan sesuatu
ide, alat-alat atau teknologi baru yang disampaikan berupa pesan komunikasi
(lewat penyuluhan). Manifestasi dari bentuk adopsi ini dapat dilihat atau
diamati berupa tingkah laku, metoda, maupun peralatan dan teknologi yang
dipergunakan dalam kegiatan komunikasinya.
TUJUAN ADOPSI PERIKANAN
a.
Untuk Mendorong
peningkatan produksi perikanan dan kelautan
b.
Mendorong terciptanya kualitas sumberdaya masyarakat
perikanan dan kelautan dalam
penguasaan IPTEK bidang perikanan dan kelautan.
c.
Mendorong
terselenggaranya pemafaatan, pengelolaan dan pengendali sumber daya hayati
perikanan dan kelautan secara efisien, lestari dan berbasis kerakyatan.
d.
Mendorong
terselenggaranya pembangunan dan pengembangan sarana dan prasarana bidang
perikanan dan kelautan.
e.
Meningkatkan
efisiensi pemanfaatan ruang pesisir dan laut secara maksimal.
f.
Mendorong
peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) bidang perikanan dan kelautan.
PENGERTIAN INOVASI
Menurut simamora
(2003), inovasi adalah suatu ide, praktek, atau produk yang dianggap baru oleh
individu atau grub yang relevan. Sedangkan Kotler (2003) mengartikan inovasi
sebagai barang, jasa, dan ide yang dianggap baru oleh seseorang.
Inovasi adalah sesuatu
ide, perilaku, produk, informasi, dan praktek-praktek baru yang belum banyak
diketahui, diterima dan digunakan/diterapkan, dilaksanakan oleh sebagian besar
warga masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu, yang dapat digunakan atau
mendorong terjadinya perubahan-perubahan di segala aspek kehidupan masyarakat
demi selalu terwujudnya perbaikan-perbaikan mutu hidup setiap individu dan
seluruh warga masyarakat yang bersangkutan (Mardikanto, 1993).
Inovasi adalah suatu
gagasan, metode, atau objek yang dapat dianggap sebagai sesuatu yang baru,
tetapi tidak selalu merupakan hasil dari penelitian mutakhir. Inovasi sering
berkembang dari penelitian dan juga dari petani (Van den Ban dan H.S. Hawkins,
1999).
Mosher (1978)
menyebutkan inovasi adalah cara baru dalam mengerjakan sesuatu. Sejauh dalam
penyuluhan pertanian, inovasi merupakan sesuatu yang dapat mengubah kebiasaan.
Segala sesuatu ide,
cara-cara baru, ataupun obyek yang dioperasikan oleh seseorang sebagai sesuatu
yang baru adalah inovasi. Baru di sini tidaklah semata-mata dalam ukuran waktu
sejak ditemukannya atau pertama kali digunakannya inovasi tersebut. Hal yang
penting adalah kebaruan dalam persepsi, atau kebaruan subyektif hal yang
dimaksud bagi seseorang, yang menetukan reaksinya terhadap inovasi tersebut.
Dengan kata lain, jika sesuatu dipandang baru bagi seseorang, maka hal itu
merupakan inovasi (Nasution, 2004).
Rogers dan Shoemaker
(1971) dalam Hanafi (1987) mengartikan inovasi sebagai gagasan, tindakan atau
barang yang dianggap baru oleh seseorang. Tidak menjadi soal, sejauh
dihubungkan dengan tingkah laku manusia, apakah ide itu betul-betul baru atau
tidak jika diukur dengan selang waktu sejak dipergunakan atau diketemukannya
pertama kali. Kebaruan inovasi itu diukur secara subyektif, menurut pandangan
individu yang menangkapnya. Baru dalam ide yang inovatif tidak berarti harus
baru sama sekali.
KOMPONEN
INOVASI
Dari beberapa
definisi tersebut, inovasi
mempunyai tiga komponen,
yaitu (a) ide atau
gagasan, (b) metode
atau praktek, dan
(c) produk (bara ng
dan jasa). Untuk dapat
disebut inovasi, ketiga
komponen tersebut harus
mempunyai sifat “baru”. Sifat
“baru” tersebut tidak
selalu bera sal dari
hasil penelitian mutakhir. Hasil penelitian yang telah
lalu pun dapat disebut inovasi, apabila
diintroduksikan kepada
masyarakat yang belum
pernah mengenal sebelumnya.
Jadi, sifat “baru” pada suatu
inovasi harus dilihat dari sudut pandang
masyarakat (calon adopter), bukan
kapan inovasi tersebut dihasilkan. Pada tataran
pemahaman yang lebih operasional, inovasi
yang dihasilkan dapat berwujud
teknologi, kelembagaan, dan kebijakan.
TAHAPAN ADOPSI
Samsudin (1982)
menyebutkan, adopsi adalah suatu proses yang dimulai dari keluarnya ide-ide
dari satu pihak, disampaikan kepada pihak kedua, sampai diterimanya ide
tersebut oleh masyarakat sebagai pihak kedua. Seseorang menerima suatu hal atau
ide baru selalu melalui tahapan-tahapan. Tahapan ini dikenal sebagai tahap
proses adopsi, secara bertahap mulai dari:
a)
Tahap kesadaran. Petani
mulai sadar tentang adanya sesuatu yang baru, mulai terbuka akan perkembangan
dunia luarnya, sadar apa yang sudah ada dan apa yang belum.
b)
Tahap minat. Tahap ini
ditandai oleh adanya kegiatan mencari keterangan-keterangan tentang hal-hal
yang baru diketahuinya.
c)
Tahap penilaian. Setelah
keterangan yang diperlukan diperoleh, mulai timbul rasa menimbang-nimbang untuk
kemungkinan melaksanakannya sendiri.
d)
Tahap mencoba. Jika
keterangan sudah lengkap, minat untuk meniru besar, dan jika ternyata hasil
penilaiannya positif, maka dimulai usaha mencoba hal baru yang sudah
diketahuinya.
e)
Tahap adopsi. Petani sudah
mulai mempraktekkan hal-hal baru dengan keyakinan akan berhasil.
Ibrahim et al (2003)
menyebutkan adopsi adalah proses yang terjadi sejak pertama kali seseorang
mendengar hal yang baru sampai orang tersebut mengadopsinya. Petani sasaran
mengambil keputusan setelah melalui beberapa tahapan dalam proses adopsi.
Beberapa tahapan yang harus dilalui yaitu tingkat adopsi sangat dipengaruhi
tipe keputusan untuk menerima atau menolak inovasi. Dengan melihat tipe
keputusan adopsi inovasi, proses adopsi dapat melalui empat tahap yaitu: tahap
mengetahui (knowledge), persuasi (persuasion), pengambilan
keputusan (decision) dan konfirmasi (confirmation).
Menurut Rogers (1983)
menyatakan proses adopsi inovasi terdiri dari empat tahap, yaitu:
a.
Pengenalan, dimana seseorang mengetahui adanya inovasi dan memperoleh
beberapa pengertian tentang bagaimana inovasi itu berfungsi. Mardikanto dan Sri
Sutarni (1982) menambahkan bahwa pada tahap ini, komunikan menerima inovasi
dari mendengar dari teman, beberapa media massa, atau dari agen pembaru
(penyuluh) yang menumbuhkan minatnya untuk lebih mengetahui hal ikhwal inovasi
tersebut.
b.
Persuasi, dimana seseorang membentuk sikap berkenan atau tidak
berkenan terhadap inovasi.
c.
Keputusan, dimana seseorang terlibat dalam kegiatan yang membawanya
pada pemilihan untuk menerima atau menolak inovasi.
d.
Konfirmasi, dimana seseorang mencari penguat bagi keputusan inovasi
yang telah dibuatnya. Pada tahap ini mungkin terjadi seseorang merubah
keputusannya jika ia memperoleh informasi yang bertentangan.
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ADOPSI
PERIKANAN
Faktor-faktor yang diprediksi mempengaruhi
adopsi inovasi adalah :
1) Modal
Adopsi
setiap teknologi membutuhkan modal (investasi). Tingkat adopsi tergantung
kepada ketersediaan modal. Makin tersedia modal yang dimiliki, makin tinggi
tingkat adopsi. Menurut Mubyarto (1989) modal dapat menghasilkan barang baru,
atau merupakan alat untuk memupuk
pendapatan
sehingga timbul minat/dorongan untuk menciptakan modal (capital formation) dengan cara menyisihkan kekayaan atau
sebagian hasil produksi untuk maksud produktif, dan bukan untuk maksud
konsumtif. Oleh karena itu tinggi rendahnya penyisihan dari hasil usaha yang
merupakan pemupukan modal, akan mempengaruhi sikap seseorang terhadap investasi
atau adopsi inovasi.
2) Kredit
Dasar dari
sistem ekonomi modern termasuk yang berlaku di Indonesia adalah agunan, bukan
kepercayaan (kecuali Bank Syariah). Setiap pemodal (lenders) akan menuntut adanya agunan (colleteral) dari
setiap peminjam (borrowers) (Sayafa’aat, 2005). Bagi calon investor,
jika modal kurang tersedia, maka pengambilan kredit marupakan alternatif kedua.
Dengan demikian ketersediaan kredit merupakan faktor yang menentukan terhadap
keputusan investasi.
Adakalanya
suatu teknologi meskipun tergolong murah atau mudah diaplikasikan, tapi kurang
diminati oleh masyarakat. Hal ini terjadi karena kesulitan masyarakat untuk
memperoleh teknologi tersebut, misalnya karena terlalu jauh untuk didapatkan.
Menurut Lindner et.al. (1982) dalam
Soekartawi (2005),
variabel “jarak ke sumber informasi” mempengaruhi terhadap adopsi inovasi.
Artinya bahwa makin dekat sumber informasi (inovasi tersebut berada), makin
cepat adopsi inovasi, begitupula sebaliknya.
4) Akses
mengoperasikan alat
Menurut
Soekartawi (2005), tingkat mudah/sukarnya (triabilitas) suatu
inovasi mempengaruhi terhadap tingkat adopsi. Artinya makin mudah inovasi
dioperasikan, makin cepat adopsi inovasi tersebut. Oleh karena itu, agar proses
adopsi inovasi berjalan lebih cepat, maka penyajian inovasi baru harus lebih
sederhana.
5) Keunggulan
alat
Sifat
adopsi inovasi menentukan kecepatan adopsi inovasi tersebut. Sajauh mana
keunggulan inovasi baru dibandingkan dengan cara-cara lama. Jika inovasi baru
memberikan keuntungan yang relatif lebih besar, maka kecepatan adopsi akan berjalan
cepat (Soekartawi, 2005).
6) Risiko
Tingkat
risiko yang ditanggung mempengaruhi keputusan masyarakat dalam menerapkan
inovasi. Bagi masyarakat pesisir, adopsi inovasi relatif lambat, karena
karakteristiknya yang no
risk dan safety first. (Satria, 2002). Oleh karena itu
keberanian nelayan dalam menanggung risiko gagal akibat menggunakan inovasi
baru, merupakan faktor yang diduga mempengaruhi adopsi inovasi.
7) Motivasi
Seseorang
mempunyai motivasi jika belum mencapai tingkat kepuasan tertentu dalam kehidupannya.
Menurut Atkinson, (1983) motivasi mengacu pada faktor yang menggerakkan dan
mengarah-kan perilaku. Perekonomian nelayan pada umumnya dalam kondisi miskin,
sudah tentu memiliki motivasi yang kuat untuk mengurangi kemiskinan tersebut.
Motivasi inilah yang mendorong nelayan bersikap responsive terhadap inovasi
baru.
8) Dukungan
ABK
Kegagalan
introduksi inovasi kepada masyarakat, salah satunya disebabkan oleh unsur
pemaksaan (Spicer dalam Horton dan Hunt (1984). Oleh karena itu
bagaimanpun kuatnya keinginan juragan
kapal untuk menggunakan
RSW, jika tidak mendapatkan dukungan dari ABK, maka akan sulit penerapan RSW
dilakukan.
9) Melihat
contoh
Menurut
Satria (2002) inovasi baru akan mudah diterima manakala masyarakat sering
melihat contoh langsung tentang penggunaan, keberhasilan, kemanfaatan inovasi
baru tersebut. Semestinya dengan hadirnya RSW di PPI Karangsong, akan
mempengaruhi sikap nelayan terhadap alat tersebut.
10) Pendampingan
Dalam
kontek pendampingan, maka peran pendamping sangat penting terhadap keberhasilan
suatu introduksi inovasi baru. Inovasi baru pada umumnya merupakan sesuatu hal
yang asing bagi calon adopter, dan berbeda dengan cara-cara lama. Oleh karena
itu profesionalisme dan intensitas pendampingan, merupakan suatu hal yang
sangat menentukan dalam keberhasilan introduksi inovasi baru tersebut.
11) Sumber
Informasi
Menurut
Mangkusubroto dan Trisnadi (1987) pengambilan keputusan seseorang terhadap
suatu hal, sebelumnya dilalui tahap informasi-onal. Dalam arti agar
keputusannya itu tepat, maka semua hal yang berkaitan dengan pengambilan
keputusan tersebut apakah menerima atau menolak, diperlukan sumber-sumber
informasi yang banyak, lengkap, dan relevan.
Mardikanto (1993)
menyatakan bahwa kecepatan adopsi dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu: (a)
Sifat inovasinya sendiri, baik sifat intrinsik (yang melekat pada inovasinya
sendiri) maupun sifat ekstrinsik (menurut atau dipengaruhi oleh keadaan
lingkungan), (b) Sifat sasarannya, (c) Cara pengambilan keputusan, (d) Saluran
komunikasi yang digunakan, (e) Keadaan penyuluh. Berkaitan dengan kemampuan
penyuluh untuk berkomunikasi, perlu juga diperhatikan kemampuan beremphati atau
kemampuan untuk merasakan keadaan yang sedang dialami atau perasaan orang lain,
(f) Ragam sumber informasi.
Lionberger dalam Mardikanto
(1993) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan mengadopsi
inovasi ditinjau dari ragam golongan masyarakat yang meliputi: (a) luas
usahatani, (b) tingkat pendapatan, (c) keberanian mengambil resiko, (d) umur,
(e) tingkat partisipasinya dalam kelompok/organisasi di luar lingkungannya
sendiri, (f) aktivitas mencari informasi dan ide-ide baru, (g) sumber informasi
yang dimanfaatkan.
ADA 3
SUBSISTEM YANG MENYEBABKAN PROSES ADOPSI
·
Generating
Subsystem (Pengadaan Inovasi)
·
Delivery
Subsystem (Penyampaian Inovasi)
·
Receiving
Subsystem (Penerimaan Inovasi)
FAKTOR YANG MEMPERCEPAT TRJADINYA ADOPSI
Untuk mempercepat proses
adopsi dan difusi
inovasi pertanian dalam kegiatan PRIMA TANI, harus dilakukan beberapa strategi, yaitu
(a) memilih inovasi perta nian yang tepat guna
( good innovation )
Dalam proses
adopsi dan difusi,
inovasi adalah produk
yang akan disampaikan ke
petani (konsumen). Agar
konsumen (petani) berminat menggunakan produk
tersebut, maka produk
tersebut harus tepat
guna bagi konsumen (petani).
Adapun strategi untuk memilih inovasi yang tepat guna adalah seperti yang sudah
diuraikan di atas.
(b) memilih metode penyuluhan yang efektif (
good extension method )
Produk
yang bagus, kalau
cara/metode menjualnya tidak
tepat akan menghambat adopsi. Sehingga langkah selanjutnya adalah
memilih suatu metode
penyuluhan yang tepat.
Strategi memilih metode
penyuluhan yang tepat
harus mempertimbangkan dua hal,
yaitu isi pesan
yang akan disampaikan
(bersifat umum atau khusus) dan
target sasaran yang a kan
dituju (untuk kalangan terba tas
atau umum).
(c) memberdayakan agen penyuluhan secara
optimal ( good extension agent )
Tahapan
berikutnya adalah memilih
petugas penyuluh dan
memberdayakan peran penyuluh
seoptimal mungkin. Penyuluh
selaku agen pembawa
inovasi mempunyai misi yang cukup berat
yaitu melakukan perubahan mental, sikap, dan perilaku
petani agar dapat
mengadopsi inovasi untuk
peningkatan keseja htera an
dirinya dan jika
memungkinkan perubahan bagi petani
lain. Tugas yang
berat tersebut membutuhkan agen
penyuluh yang mempunyai
motivasi dan dedikasi tinggi, tidak
mudah menyerah, rela
berkorban, dan berempati
terhadap nasib petani.
Soekartawi (2005)
menyebutkan terdapat beberapa hal penting yang juga mempengaruhi adopsi
inovasi. Cepatnya proses adopsi inovasi juga sangat tergantung dari faktor
intern dari adopter itu sendiri, antara lain:
a.
Umur.
Makin muda petani biasanya mempunyai semangat untuk ingin
tahu apa yang belum diketahui, sehingga dengan demikian mereka berusaha untuk
lebih cepat melakukan adopsi inovasi walaupun sebenarnya mereka masih belum
berpengalaman soal adopsi inovasi tersebut.
b.
Pendidikan.
Mereka yang berpendidikan tinggi adalah relatif lebih cepat
dalam melaksanakan adopsi inovasi. Hernanto (1984) menyebutkan bahwa tingkat
pendidikan petani baik formal maupun informal akan mempengaruhi cara berpikir
dan pandangan seseorang dalam menjalankan usaha taninya, yaitu dalam
rasionalitas usaha, dan kemampuan memanfaatkan setiap kesempatan ekonomi yang
ada.
c.
Keberanian mengambil resiko.
Biasanya petani kecil mempunyai sifat menolak resiko (risk
averter).
d.
Pola hubungan.
Lingkup hubungan apakah petani ada dalam pola hubungan
kekosmopolitan atau lokalitas.
e.
Sikap terhadap perubahan.
Kebanyakan petani kecil lamban dalam mengubah sikapnya
terhadap perubahan.
f.
Motivasi berkarya.
g.
Aspirasi.
Apabila calon adopter tidak mempunyai aspirasi atau
aspirasinya ditinggalkan, maka adopsi inovasi sulit dilakukan.
h.
Fatalisme.
Apabila calon adopter dihadapkan pada resiko dan
ketidakpastian yang tinggi maka adopsi inovasi sulit dilakukan.
i.
Sistem kepercayaan tertentu.
Makin tertutup suatu sistem sosial dalam masyarakat terhadap
sentuhan luar, misalnya sentuhan teknologi, maka makin sulit pula anggota
masyarakat untuk mengadopsi inovasi.
j.
Karakteristik psikologi.
Apabila karakter mendukung adanya adopsi inovasi, maka
proses adopsi inovasi akan berjalan lebih cepat.
MEMILIH
INOVASI YANG TEPAT GUNA
Salah satu faktor yang
mempengaruhi percepatan adopsi adalah sifat
dari inovasi itu sendiri.
Inovasi yang akan diintroduksi harus mempunyai banyak kesesuaian (daya
adaptif) terhadap kondisi biofisik,
sosial, ekonomi, dan budaya
ya ng ada di petani.
Untuk itu, inovasi
yang ditawarkan ke petani harus inovasi yang tepat guna.
Strategi untuk memilih
inovasi yang tepat
guna adalah menggunakan kriteria-kritera sebagai berikut:
1.
Inovasi Harus Dirasakan
Sebagai Kebutuhan Oleh Nelayan Kebanyakan
Sudah terlalu
sering inovasi-inovasi perta nian
yang ditawarkan kepada petani
hanya “menggaruk di
tempat yang tidak
gatal”, karena inovasi-inovasi tersebut lebih
banyak bersifat daftar
keingingan dari pihak
luar, bukan daftar kebutuhan masyarakat tani itu sendiri. Kejadian yang mudah untuk ditebak adalah tidak diadopsinya inovasi oleh
petani.
Kalau diharapkan masyara
kat (petani) akan menerima (mengadopsi) suatu inovasi, para
warga masyarakat harus
yakin bahwa inovasi
itu memenuhi suatu kebutuhan yang
benar-benar dirasakan (Bunch,
2001). Inovasi akan
menjadi kebutuhan petani apabila
inovasi tersebut dapat
memecahkan masalah yang sedang dihadapi petani. Sehingga
identifikasi masalah secara benar menjadi sangat penting, paling tidak ada dua
alasan (Wahyuni, 2000), yaitu: (a)
sesuatu yang kita anggap sebagai
masalah, belum tentu
merupakan masalah yang
dihadapi oleh petani, (b)
kalau toh masalah tersebut ternyata
benar merupaka n masa lah
petani, belum tentu pemecahannya sesuai denga n kondisi petani.
Cara menemukan teknologi
dengan kriteria ini adalah (a) mengidentifikasi masalah petani secara
benar, dan (b) memberikan solusi masalah
tersebut dengan inovasi (teknologi)
Badan Litbang yang
tepat. Untuk mengidentifikasi masalah secara benar dapat dilakukan dua
metode yaitu metode PRA (Sri Wahyuni, 2000), dan metode alur pikir PMKP (Nies,
2000).
2.
Inovasi Harus Memberi
Keuntungan Secara Konkrit Bagi
Nelayan
Faktor tunggal
yang paling menentukan
dalam menimbulkan sema ngatakan suatu program adalah
peningkatan pendapatan perorangan yang dapat dicapai dengan teknologi
anjuran program (Bunch,
2001). Masih menurut
Bunch, teknologi yang perta ma
kali dianjurkan program
biasanya harus dapat meningkatkan penghasilan
petani sebesar 50%-150%.
Secara lebih tegas Soekartawi (1988)
mengatakan bahwa jika
memang benar teknologi
baru akan memberikan keuntungan
yang relatif lebih
besar dari nilai
yang dihasilkan teknologi lama,
maka kecepatan adopsi inovasi akan berjalan lebih cepat.
Dari penjelasan
tersebut, inovasi
(teknologi) yang akan
diterapkan dalam PRIMA TANI
harus dijamin akan
memberikan keuntungan lebih
disbanding inovasi
(teknologi) ya ng sudah
ada. Jika hal
ini terjadi, niscaya
petani akan mempunyai semangat
untuk menga dopsi. Untuk
menemukan inovasi (teknologi) dengan kriteria
ini adalah (a)
bandingkan teknologi introduksi
dengan teknologi yang sudah
ada, selanjutnya (b)
identifikasi teknologi dengan
biaya yang lebih rendah atau teknologi dengan produksi
yang lebih tinggi.
3.
Inovasi Harus
Mempunyai Kompatibilitas/Keselarasan
Beberapa pakar
mempunyai pendapat yang
berbeda dalam memaknai istilah kompatibilitas. Perbedaan pendapat tersebut
menguntungkan, karena justru
memberikan makna yang
lebih lengkap. Beberapa
penjelasan yang berbeda tentang kompatibilitas inovasi
(teknologi), dapat diura ikan sebagai berikut:
- Bila teknologi baru
merupakan kela njutan dari
teknologi lama yang
telah dilaksanakan petani, maka
kecepatan proses adopsi
inovasi akan berjalan relatif cepat
(Soekartawi, 1998). Disini
kompatibilitas diartikan sebagai kesesuaian antara teknologi lama (existing technology) dengan taknologi
baru (introduction technology)
- Setiap petani berusaha
untuk meningkatkan penghasilan
dari keseluruhan
usahataninya, dan bukannya
dari satu jenis
tanaman atau hewan
dengan mengorba nkan salah satu
yang lainnya. Karenanya,
teknologi baru harus sesuai
denga n pola pertanian
yang ada sehingga
dapat masuk dalam
pola itu dengan semudah-mudahnya
dan dengan keuntungan sebesar-besarnya (Bunch, 2001). Penjelasan
ini memberikan pengertian
tentang kompatibiltas sebagai kesesuaian antara
inovasi (teknologi) dengan
pola pertanian. Sebagai
contoh, jika petani memanfaatkan
daun jagung sebagai
pakan ternak sapi,
maka introduksi teknologi pengomposan
daun jagung akan
sulit diadopsi (tidak kompatibel).
- Compatibility
with socio-culture values
and beliefs, with
previously introduced ideas or
with farmers’ felt
needs (Van Den Ban
and Hawkins, 1996). Dalam penjelasan
tersebut, kompatibilitas mempunyai
keterkaitan dengan nilai sosial
budaya, kepercayaan, gaga san
yang dikenalkan sebelumnya, dan
keperluan yang dirasakan oleh petani. Berdasarkan pendapa t
ketiga pakar tersebut
dapat diperoleh penjelasan mengenai kompatibilitas inovasi
secara lebih lengkap,
yaitu: kesesuaian/keselarasan
antara inovasi yang
diintroduksikan dengan (a)
teknologi yang telah ada
sebelumnya, (b) pola
pertanian ya ng berlaku,
(c) nilai sosial, budaya, keperceyaa n
petani, (d) gagasa n
yang dikenalkan sebelumnya,
dan (e) keperlua n yang dirasakan
oleh petani. Dengan demikian, inovasi yang mempunyai kompatibiltas tinggi
terhadap hal-hal tersebut, akan lebih cepat untuk diadopsi. Untuk menemukan
teknologi dengan kriteria
tersebut, adalah (a) melakukan benchmarking terhadap kondisi
biofisik, tata nilai sosial-ekonomi- budaya, existing technology ,
pola pertanian, (b)
identifikasi teknologi Badan Litbang yang sesuai dengan kondisi
benchmarking
4.
Inovasi Harus Dapat
Mengatasi Faktor-Faktor Pembatas
Bunch (2001)
mengata kan bahwa kalau
suatu inovasi dihara pkan meningkatkan produktivitas
suatu sistem pertanian
setempat, maka dengan atau cara lain, inovasi itu harus (dapat) mengata
si faktor-faktor pembatas yang ada dalam sistem itu. Faktor pembatas adalah
keadaa n atau prasyarat yang pa ling tidak memadai di suatu wilayah.
Sebagai contoh, faktor
pembatas di lahan
pasang surut salah
satunya adalah adanya keracunan besi sehingga produksi padi rendah. Ada
teknologi untuk mengatasi faktor pembata s tersebut, yaitu Tata Air Mikro
(dengan saluran cacing).
Teknologi tersebut
diintroduksikan ke petani dan secara konkrit mampu mengatasi masalah keracunan besi (faktor pembatas).
Teknologi yang secara konkrit dapat mengatasi faktor
pembatas akan cenderung lebih mudah diadopsi. Cara menemukan
teknologi dengan kriteria
tersebut, adalah (a) mengidentifikasi faktor-faktor
pembatas usahatani di lokasi PRIMA TANI, dan (b)
mengitroduksikan teknologi yang tepat
untuk mengatasi faktor
pembatas tersebut.
5.
Inovasi
Mendayagunakan Sumberdaya Yang Sudah Ada
Teknologi untuk para petani
harus menggunakan sumberda ya yang sudah mereka
miliki. Kalau sumberdaya
dari luar mutlak
diperlukan, kita harus memastikan bahwa sumber daya
itu murah, dapat
diperoleh secara teratur
dengan mudah dari suatu sumber tetap yang dapat diandalkan (Bunch, 2001).
Sebagai contoh, seora ng
dokter hewan telah
menjelaskan selama 3 jam
tentang pembuatan inkubator anak ayam
yang hanya dengan menggunakan sebuah bola lampu
listrik. Inkubator tersebut
sederhana, mempunyai ma nfaat
besar, dan sudah
teruji hasilnya. Satu-satunya
masa lah adalah tidak ada
satupun petani yang tinggal di desa yang sudah
ada listriknya. Teknologi semacam
itu jelas tidak akan diadopsi, karena
tidak di dukung
sumberdaya lokal yang
mema dai. Kalau toh listrik harus diadakan, maka perlu
dijamin bahwa petani sanggup membiayai.
Untuk memperoleh teknologi
denga n kriteria tersebut,
dapat dilakukan dengan cara
(a) mengidentifikasi sumberdaya
lokal yang tersedia,
(b) mencari teknologi yang ba
nyak mamanfatkan sumberdaya lokal tersebut.
6.
Inovasi Harus Terjangkau Oleh Kemampuan Financial Nelayan
Hasil penelitian
Musyafak et al. (2002) menunjukkan
bahwa beberapa kendala adopsi
adalah (a) inovasi/teknologi dirasa
mahal sehingga tidak terjangkau oleh
kema mpuan finansial petani
(kasus teknologi pakan
konsentra tuntuk sapi di
Sanggau Ledo), (b)
orientasi usaha masih
sambilan bukan utama (kasus
teknologi kandang babi
di Ngarak), (c)
harga komoditas rendah
(kasus teknologi budidaya kedelai
di Air Putih),
dan (d) ketersediaan
sarana produksi tidak terjamin
(kasus Jagung Bisma di Sanggau Ledo).
Dari penjelasan
tersebut, kendala adopsi
yang datang secara internal dari inovasi itu sendiri adalah inovasi tersebut dirasakan mahal oleh petani. Sedangkan kendala adopsi
dari luar inovasi
itu sendiri adalah
orientasi usaha, pasar,
dan ketersediaan sarana pendukung
(saprodi, dll). Sebagus
apapun teknologi kalau
tidak terjangkau oleh kema mpuan
finansial petani sebagai pengguna, maka
akan susah untuk diadopsi.
Apalagi kebanyakan petani
relatif miskin, maka
inovasi yang dirasakan murah akan lebih cepat diadopsi dibanding inovasi
yang mahal. Cara menemukan teknologi
ini adalah (a)
mengidentifikasi kema mpuan
permodalan petani, sumber
kredit yang bisa
diakses petani, bantuan/pinjaman permodalan
melalui program, dan
sumber modal lain,
(b) evaluasi, apakah teknologi yang diintroduksikan
terbiayai oleh petani
7.
Inovasi Harus Sederhana
Tidak Rumit Dan
Mudah Dicoba
Semakin muda h
teknologi baru untuk
dapa t dipraktekkan, maka
makin cepat pula proses
adopsi inovasi yang
dilakukan petani. Oleh
karena itu, agar proses
adopsi dapat berjalan cepat, maka
penyajian inovasi harus lebih
sederhana (Sukartawi,1988).
Dengan demikian kompleksitas
suatu inovasi mempunyai pengaruh yang besar terhadap
percepatan adopsi inovasi. Untuk
menemukan teknologi denga n
kriteria tersebut, dila kukan
dengan mengevaluasi apakah teknologi yang diintroduksikan sederhana (tidak rumit), jika
memang rumit lakukan peragaan, percontohan, pelatihan secara partisipatif.
8.
Inovasi Harus Mudah Untuk Diamati
Ada kalanya petani enggan
untuk menanyakan keberhasilan temannya yang telah berhasil menerapkan
teknologi. Atau temannya sengaja tidak memberitahu, karena takut
tersaingi. Jika teknologi yang berhasil tadi tidak mudah untuk diamati,
maka terjadi kendala
dala m penyebaran adopsi
inovasi tersebut, akan tetapi
jika teknologi tersebut mudah diamati maka banyak petani
yang mudah meniru tanpa harus bertanya kepa da petani yang
bersangkutan. Dengan demikian
akan terjadi proses difusi, sehingga jumlah peta ni yang mengadopsi menjadi lebih banyak.
Agar teknologi mudah diamati,
maka pada tahap
awal dilakukan percontohan atau
demonstrasi teknologi yang
dilakukan di tempat yang
mudah diamati, melakukan
kunjungan lapang, diskusikan teknologi
yang a da di lapangan secara langsung. Delapan
kriteria diatas digunakan untuk memilih inovasi yang tepat guna untuk diintroduksikan di
lokasi .
Semakin banyak
kriteria-kriteria tersebut yang dipenuhi oleh suatu inovasi, maka semakin besar peluang inovasi tersebut untuk diadopsi oleh petani. Sebaliknya, semakin
sedikit kriteria-kriteria tersebut yang
dipenuhi oleh suatu
inovasi, maka semakin
kecil peluang inovasi tersebut untuk diadopsi. Adopsi inovasi
merupakan suatu proses
mental atau perubahan perilaku baik
yang berupa pengetahuan (cognitive), sikap (affective), maupun keterampilan (psychomotor) pada diri
seseorang sejak ia mengenal inovasi sa mpai memutuskanuntuk mengadopsinya
setelah menerima inovasi
(Rogers and Shoemaker,
1971).Hal senada disampaikan oleh
Soekartawi (1988) yang menyatakan
bahwa adopsimerupakan proses
mental dalam diri
seseora ng melalui perta ma kali
mendengartentang sua tu inovasi sampai akhirnya mengadopsi.
“Setelah suatu inovasi diadopsi oleh pengguna, maka proses
selanjutnya yang diharapkan adalah terjadinya difusi inovasi dimana inovasi
disebarkan pada invidu atau kelompok dalam suatu sistem sosial tertentu”
Sumber :
Bunch, Roland.
2001. Dua Tongkol
Jagung: Pedoman Pengembangan
Pertanian Berpangkal Pada Rakyat. Edisi ke dua. Yayasan Obor Indonesia.
Jakarta
Ibrahim, J.T.,
Armand Sudiyono, dan Harpowo. 2003. Komunikasi dan Penyuluhan Pertanian. Banyumedia
Publishing. Malang.
Mosher, A.T. 1970. Getting
Agriculture Moving. Pyramid Book. New York.
__________.1978.
An Introduction to Agricultural Extension. Agricultural Development
Council. New York.
Mardikanto, T. 1988. Komunikasi
Pembangunan. UNS Press. Surakarta.
___________. 1993. Penyuluhan
Pembangunan Pertanian. UNS Press. Surakarta.
___________. 2007. Redefinisi
dan Revitalisasi Penyuluhan Pertanian. PUSPA. Surakarta.
___________
dan Sri Sutarni. 1982. Pengantar Penyuluhan Pertanian dalam Teori dan
Praktek. Hapsara. Surakarta.
Nasution, Z.
2004. Komunikasi Pembangunan Pengenalan Teori dan Penerapannya. Raja
Grafindo Persada. Jakarta.
Rogers, E.M.
1983. Diffusions of Innovations, Third Edition. Free Press. New York
Samsudin, U.
S. 1982. Dasar-Dasar Penyuluhan dan Modernisasi Pertanian. Binacipta.
Bandung.
Simamora,
Bilson. 2003. Membongkar Kotak Hitam Konsumen. PT. Gramedia. Jakarta
Soekartawi.
2005. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. UI Press. Jakarta.
Suprapto, T.
dan Fahrianoor. 2004. Komunikasi Penyuluhan dalam Teori dan Praktek. Arti
Bumi Intaran. Yogyakarta.
Van den ban,
A.W. and Hawkins, H.S. 1996. Agricultural Extension. Second Edition. John Wiley
& Son, Inc. New York
No comments:
Post a Comment