Thursday, February 21, 2013

MAKALAH PENYULUHAN (edited)


MAKALAH PENYULUHAN
Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Adopsi Perikanan


OLEH :
KELOMPOK 5
AULIA FIRDAUSI                            (0910810012)
R ADHARIYAN ISLAMY               (0910810063)
KARINA TRIASTARI                       (0910830036)


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2010







PENGERTIAN ADOPSI
Adopsi adalah keputusan untuk menggunakan sepenuhnya ide baru sebagai cara bertindak yang paling baik. Keputusan inovasi merupakan proses mental, sejak seseorang mengetahui adanya inovasi sampai mengambil keputusan untuk menerima atau menolaknya kemudian mengukuhkannya. Keputusan inovasi merupakan suatu tipe pengambilan keputusan yang khas (Suprapto dan Fahrianoor, 2004).

Mardikanto dan Sri Sutarni (1982) mengartikan adopsi sebagai penerapan atau penggunaan sesuatu ide, alat-alat atau teknologi baru yang disampaikan berupa pesan komunikasi (lewat penyuluhan). Manifestasi dari bentuk adopsi ini dapat dilihat atau diamati berupa tingkah laku, metoda, maupun peralatan dan teknologi yang dipergunakan dalam kegiatan komunikasinya.

TUJUAN ADOPSI PERIKANAN
a.       Untuk Mendorong peningkatan produksi perikanan dan kelautan
b.      Mendorong terciptanya kualitas sumberdaya masyarakat perikanan dan kelautan dalam penguasaan IPTEK bidang perikanan dan kelautan.
c.       Mendorong terselenggaranya pemafaatan, pengelolaan dan pengendali sumber daya hayati perikanan dan kelautan secara efisien, lestari dan berbasis kerakyatan.
d.      Mendorong terselenggaranya pembangunan dan pengembangan sarana dan prasarana bidang perikanan dan kelautan.
e.      Meningkatkan efisiensi pemanfaatan ruang pesisir dan laut secara maksimal.
f.        Mendorong peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) bidang perikanan dan kelautan.

PENGERTIAN INOVASI
Menurut simamora (2003), inovasi adalah suatu ide, praktek, atau produk yang dianggap baru oleh individu atau grub yang relevan. Sedangkan Kotler (2003) mengartikan inovasi sebagai barang, jasa, dan ide yang dianggap baru oleh seseorang.

Inovasi adalah sesuatu ide, perilaku, produk, informasi, dan praktek-praktek baru yang belum banyak diketahui, diterima dan digunakan/diterapkan, dilaksanakan oleh sebagian besar warga masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu, yang dapat digunakan atau mendorong terjadinya perubahan-perubahan di segala aspek kehidupan masyarakat demi selalu terwujudnya perbaikan-perbaikan mutu hidup setiap individu dan seluruh warga masyarakat yang bersangkutan (Mardikanto, 1993).

Inovasi adalah suatu gagasan, metode, atau objek yang dapat dianggap sebagai sesuatu yang baru, tetapi tidak selalu merupakan hasil dari penelitian mutakhir. Inovasi sering berkembang dari penelitian dan juga dari petani (Van den Ban dan H.S. Hawkins, 1999).
Mosher (1978) menyebutkan inovasi adalah cara baru dalam mengerjakan sesuatu. Sejauh dalam penyuluhan pertanian, inovasi merupakan sesuatu yang dapat mengubah kebiasaan.

Segala sesuatu ide, cara-cara baru, ataupun obyek yang dioperasikan oleh seseorang sebagai sesuatu yang baru adalah inovasi. Baru di sini tidaklah semata-mata dalam ukuran waktu sejak ditemukannya atau pertama kali digunakannya inovasi tersebut. Hal yang penting adalah kebaruan dalam persepsi, atau kebaruan subyektif hal yang dimaksud bagi seseorang, yang menetukan reaksinya terhadap inovasi tersebut. Dengan kata lain, jika sesuatu dipandang baru bagi seseorang, maka hal itu merupakan inovasi (Nasution, 2004).

Rogers dan Shoemaker (1971) dalam Hanafi (1987) mengartikan inovasi sebagai gagasan, tindakan atau barang yang dianggap baru oleh seseorang. Tidak menjadi soal, sejauh dihubungkan dengan tingkah laku manusia, apakah ide itu betul-betul baru atau tidak jika diukur dengan selang waktu sejak dipergunakan atau diketemukannya pertama kali. Kebaruan inovasi itu diukur secara subyektif, menurut pandangan individu yang menangkapnya. Baru dalam ide yang inovatif tidak berarti harus baru sama sekali.

KOMPONEN INOVASI
Dari  beberapa  definisi tersebut, inovasi  mempunyai  tiga  komponen,  yaitu (a)  ide  atau  gagasan,  (b)  metode  atau  praktek,  dan  (c)  produk  (bara ng  dan  jasa). Untuk  dapat  disebut  inovasi,  ketiga  komponen  tersebut  harus  mempunyai  sifat “baru”.  Sifat  “baru”  tersebut  tidak  selalu  bera sal  dari  hasil  penelitian  mutakhir. Hasil penelitian  yang telah  lalu pun dapat disebut inovasi, apabila  diintroduksikan kepada  masyarakat  yang  belum  pernah  mengenal  sebelumnya.  Jadi,  sifat “baru” pada suatu inovasi  harus dilihat dari  sudut pandang  masyarakat (calon adopter),  bukan kapan  inovasi  tersebut dihasilkan. Pada  tataran  pemahaman yang lebih  operasional,  inovasi  yang  dihasilkan dapat berwujud teknologi, kelembagaan, dan kebijakan.

TAHAPAN ADOPSI
Samsudin (1982) menyebutkan, adopsi adalah suatu proses yang dimulai dari keluarnya ide-ide dari satu pihak, disampaikan kepada pihak kedua, sampai diterimanya ide tersebut oleh masyarakat sebagai pihak kedua. Seseorang menerima suatu hal atau ide baru selalu melalui tahapan-tahapan. Tahapan ini dikenal sebagai tahap proses adopsi, secara bertahap mulai dari:

a)    Tahap kesadaran. Petani mulai sadar tentang adanya sesuatu yang baru, mulai terbuka akan perkembangan dunia luarnya, sadar apa yang sudah ada dan apa yang belum.
b)   Tahap minat. Tahap ini ditandai oleh adanya kegiatan mencari keterangan-keterangan tentang hal-hal yang baru diketahuinya.
c)    Tahap penilaian. Setelah keterangan yang diperlukan diperoleh, mulai timbul rasa menimbang-nimbang untuk kemungkinan melaksanakannya sendiri.
d)   Tahap mencoba. Jika keterangan sudah lengkap, minat untuk meniru besar, dan jika ternyata hasil penilaiannya positif, maka dimulai usaha mencoba hal baru yang sudah diketahuinya.
e)   Tahap adopsi. Petani sudah mulai mempraktekkan hal-hal baru dengan keyakinan akan berhasil.

Ibrahim et al (2003) menyebutkan adopsi adalah proses yang terjadi sejak pertama kali seseorang mendengar hal yang baru sampai orang tersebut mengadopsinya. Petani sasaran mengambil keputusan setelah melalui beberapa tahapan dalam proses adopsi. Beberapa tahapan yang harus dilalui yaitu tingkat adopsi sangat dipengaruhi tipe keputusan untuk menerima atau menolak inovasi. Dengan melihat tipe keputusan adopsi inovasi, proses adopsi dapat melalui empat tahap yaitu: tahap mengetahui (knowledge), persuasi (persuasion), pengambilan keputusan (decision) dan konfirmasi (confirmation).

Menurut Rogers (1983) menyatakan proses adopsi inovasi terdiri dari empat tahap, yaitu:

a.    Pengenalan, dimana seseorang mengetahui adanya inovasi dan memperoleh beberapa pengertian tentang bagaimana inovasi itu berfungsi. Mardikanto dan Sri Sutarni (1982) menambahkan bahwa pada tahap ini, komunikan menerima inovasi dari mendengar dari teman, beberapa media massa, atau dari agen pembaru (penyuluh) yang menumbuhkan minatnya untuk lebih mengetahui hal ikhwal inovasi tersebut.
b.   Persuasi, dimana seseorang membentuk sikap berkenan atau tidak berkenan terhadap inovasi.
c.    Keputusan, dimana seseorang terlibat dalam kegiatan yang membawanya pada pemilihan untuk menerima atau menolak inovasi.
d.   Konfirmasi, dimana seseorang mencari penguat bagi keputusan inovasi yang telah dibuatnya. Pada tahap ini mungkin terjadi seseorang merubah keputusannya jika ia memperoleh informasi yang bertentangan.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ADOPSI PERIKANAN
Faktor-faktor yang diprediksi mempengaruhi adopsi inovasi adalah :
      1)      Modal
Adopsi setiap teknologi membutuhkan modal (investasi). Tingkat adopsi tergantung kepada ketersediaan modal. Makin tersedia modal yang dimiliki, makin tinggi tingkat adopsi. Menurut Mubyarto (1989) modal dapat menghasilkan barang baru, atau merupakan alat untuk memupuk

pendapatan sehingga timbul minat/dorongan untuk menciptakan modal (capital formation) dengan cara menyisihkan kekayaan atau sebagian hasil produksi untuk maksud produktif, dan bukan untuk maksud konsumtif. Oleh karena itu tinggi rendahnya penyisihan dari hasil usaha yang merupakan pemupukan modal, akan mempengaruhi sikap seseorang terhadap investasi atau adopsi inovasi.

      2)      Kredit
Dasar dari sistem ekonomi modern termasuk yang berlaku di Indonesia adalah agunan, bukan kepercayaan (kecuali Bank Syariah). Setiap pemodal (lenders) akan menuntut adanya agunan (colleteral) dari setiap peminjam (borrowers) (Sayafa’aat, 2005). Bagi calon investor, jika modal kurang tersedia, maka pengambilan kredit marupakan alternatif kedua. Dengan demikian ketersediaan kredit merupakan faktor yang menentukan terhadap keputusan investasi.

 3)      Akses memperoleh alat
Adakalanya suatu teknologi meskipun tergolong murah atau mudah diaplikasikan, tapi kurang diminati oleh masyarakat. Hal ini terjadi karena kesulitan masyarakat untuk memperoleh teknologi tersebut, misalnya karena terlalu jauh untuk didapatkan. Menurut Lindner et.al. (1982) dalam Soekartawi (2005), variabel “jarak ke sumber informasi” mempengaruhi terhadap adopsi inovasi. Artinya bahwa makin dekat sumber informasi (inovasi tersebut berada), makin cepat adopsi inovasi, begitupula sebaliknya.

4)      Akses mengoperasikan alat
Menurut Soekartawi (2005), tingkat mudah/sukarnya (triabilitas) suatu inovasi mempengaruhi terhadap tingkat adopsi. Artinya makin mudah inovasi dioperasikan, makin cepat adopsi inovasi tersebut. Oleh karena itu, agar proses adopsi inovasi berjalan lebih cepat, maka penyajian inovasi baru harus lebih sederhana.
5)      Keunggulan alat
Sifat adopsi inovasi menentukan kecepatan adopsi inovasi tersebut. Sajauh mana keunggulan inovasi baru dibandingkan dengan cara-cara lama. Jika inovasi baru memberikan keuntungan yang relatif lebih besar, maka kecepatan adopsi akan berjalan cepat (Soekartawi, 2005).

6)      Risiko
Tingkat risiko yang ditanggung mempengaruhi keputusan masyarakat dalam menerapkan inovasi. Bagi masyarakat pesisir, adopsi inovasi relatif lambat, karena karakteristiknya yang no risk dan safety first. (Satria, 2002). Oleh karena itu keberanian nelayan dalam menanggung risiko gagal akibat menggunakan inovasi baru, merupakan faktor yang diduga mempengaruhi adopsi inovasi.

7)      Motivasi
Seseorang mempunyai motivasi jika belum mencapai tingkat kepuasan tertentu dalam kehidupannya. Menurut Atkinson, (1983) motivasi mengacu pada faktor yang menggerakkan dan mengarah-kan perilaku. Perekonomian nelayan pada umumnya dalam kondisi miskin, sudah tentu memiliki motivasi yang kuat untuk mengurangi kemiskinan tersebut. Motivasi inilah yang mendorong nelayan bersikap responsive terhadap inovasi baru.

8)      Dukungan ABK
Kegagalan introduksi inovasi kepada masyarakat, salah satunya disebabkan oleh unsur pemaksaan (Spicer dalam Horton dan Hunt (1984). Oleh karena itu bagaimanpun kuatnya keinginan juragan kapal untuk menggunakan RSW, jika tidak mendapatkan dukungan dari ABK, maka akan sulit penerapan RSW dilakukan.

9)      Melihat contoh
Menurut Satria (2002) inovasi baru akan mudah diterima manakala masyarakat sering melihat contoh langsung tentang penggunaan, keberhasilan, kemanfaatan inovasi baru tersebut. Semestinya dengan hadirnya RSW di PPI Karangsong, akan mempengaruhi sikap nelayan terhadap alat tersebut.

10)   Pendampingan
Dalam kontek pendampingan, maka peran pendamping sangat penting terhadap keberhasilan suatu introduksi inovasi baru. Inovasi baru pada umumnya merupakan sesuatu hal yang asing bagi calon adopter, dan berbeda dengan cara-cara lama. Oleh karena itu profesionalisme dan intensitas pendampingan, merupakan suatu hal yang sangat menentukan dalam keberhasilan introduksi inovasi baru tersebut.

11)   Sumber Informasi
Menurut Mangkusubroto dan Trisnadi (1987) pengambilan keputusan seseorang terhadap suatu hal, sebelumnya dilalui tahap informasi-onal. Dalam arti agar keputusannya itu tepat, maka semua hal yang berkaitan dengan pengambilan keputusan tersebut apakah menerima atau menolak, diperlukan sumber-sumber informasi yang banyak, lengkap, dan relevan.

Mardikanto (1993) menyatakan bahwa kecepatan adopsi dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu: (a) Sifat inovasinya sendiri, baik sifat intrinsik (yang melekat pada inovasinya sendiri) maupun sifat ekstrinsik (menurut atau dipengaruhi oleh keadaan lingkungan), (b) Sifat sasarannya, (c) Cara pengambilan keputusan, (d) Saluran komunikasi yang digunakan, (e) Keadaan penyuluh. Berkaitan dengan kemampuan penyuluh untuk berkomunikasi, perlu juga diperhatikan kemampuan beremphati atau kemampuan untuk merasakan keadaan yang sedang dialami atau perasaan orang lain, (f) Ragam sumber informasi.

Lionberger dalam Mardikanto (1993) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan mengadopsi inovasi ditinjau dari ragam golongan masyarakat yang meliputi: (a) luas usahatani, (b) tingkat pendapatan, (c) keberanian mengambil resiko, (d) umur, (e) tingkat partisipasinya dalam kelompok/organisasi di luar lingkungannya sendiri, (f) aktivitas mencari informasi dan ide-ide baru, (g) sumber informasi yang dimanfaatkan.

ADA 3 SUBSISTEM YANG MENYEBABKAN PROSES ADOPSI
·         Generating Subsystem (Pengadaan Inovasi)
·         Delivery Subsystem (Penyampaian Inovasi)
·         Receiving Subsystem (Penerimaan Inovasi)

FAKTOR YANG MEMPERCEPAT TRJADINYA ADOPSI
Untuk  mempercepat  proses  adopsi  dan  difusi  inovasi  pertanian  dalam kegiatan PRIMA TANI,  harus dilakukan beberapa strategi, yaitu

(a) memilih inovasi perta nian yang tepat guna ( good innovation )
Dalam  proses  adopsi  dan  difusi,  inovasi  adalah  produk  yang  akan disampaikan  ke  petani  (konsumen).  Agar  konsumen  (petani)  berminat menggunakan  produk  tersebut,  maka    produk  tersebut  harus  tepat  guna  bagi konsumen (petani). Adapun strategi untuk memilih inovasi yang tepat guna adalah seperti yang sudah diuraikan di atas.

(b) memilih metode penyuluhan yang efektif ( good extension method )
Produk  yang  bagus,  kalau  cara/metode  menjualnya  tidak  tepat  akan menghambat  adopsi. Sehingga  langkah selanjutnya  adalah  memilih suatu  metode penyuluhan  yang  tepat.  Strategi  memilih  metode  penyuluhan  yang  tepat  harus mempertimbangkan  dua  hal,  yaitu  isi  pesan  yang  akan  disampaikan  (bersifat umum atau  khusus)  dan  target  sasaran  yang a kan  dituju (untuk  kalangan terba tas atau umum).

(c)  memberdayakan agen penyuluhan secara optimal ( good extension agent )
Tahapan  berikutnya  adalah  memilih  petugas  penyuluh  dan  memberdayakan  peran penyuluh seoptimal  mungkin.  Penyuluh  selaku  agen  pembawa  inovasi mempunyai  misi yang  cukup berat  yaitu  melakukan perubahan  mental, sikap,  dan perilaku  petani  agar  dapat  mengadopsi  inovasi  untuk  peningkatan  keseja htera an dirinya  dan  jika  memungkinkan  perubahan  bagi  petani  lain.  Tugas  yang  berat tersebut  membutuhkan  agen  penyuluh  yang  mempunyai  motivasi  dan  dedikasi tinggi,  tidak  mudah  menyerah,  rela  berkorban,  dan  berempati  terhadap  nasib petani.

Soekartawi (2005) menyebutkan terdapat beberapa hal penting yang juga mempengaruhi adopsi inovasi. Cepatnya proses adopsi inovasi juga sangat tergantung dari faktor intern dari adopter itu sendiri, antara lain:

a.       Umur.
Makin muda petani biasanya mempunyai semangat untuk ingin tahu apa yang belum diketahui, sehingga dengan demikian mereka berusaha untuk lebih cepat melakukan adopsi inovasi walaupun sebenarnya mereka masih belum berpengalaman soal adopsi inovasi tersebut.

b.      Pendidikan.
Mereka yang berpendidikan tinggi adalah relatif lebih cepat dalam melaksanakan adopsi inovasi. Hernanto (1984) menyebutkan bahwa tingkat pendidikan petani baik formal maupun informal akan mempengaruhi cara berpikir dan pandangan seseorang dalam menjalankan usaha taninya, yaitu dalam rasionalitas usaha, dan kemampuan memanfaatkan setiap kesempatan ekonomi yang ada.

c.       Keberanian mengambil resiko.
Biasanya petani kecil mempunyai sifat menolak resiko (risk averter).

d.      Pola hubungan.
Lingkup hubungan apakah petani ada dalam pola hubungan kekosmopolitan atau lokalitas.

e.      Sikap terhadap perubahan.
Kebanyakan petani kecil lamban dalam mengubah sikapnya terhadap perubahan.

f.        Motivasi berkarya.

g.       Aspirasi.
Apabila calon adopter tidak mempunyai aspirasi atau aspirasinya ditinggalkan, maka adopsi inovasi sulit dilakukan.

h.      Fatalisme.
Apabila calon adopter dihadapkan pada resiko dan ketidakpastian yang tinggi maka adopsi inovasi sulit dilakukan.

i.        Sistem kepercayaan tertentu.
Makin tertutup suatu sistem sosial dalam masyarakat terhadap sentuhan luar, misalnya sentuhan teknologi, maka makin sulit pula anggota masyarakat untuk mengadopsi inovasi.

j.        Karakteristik psikologi.
Apabila karakter mendukung adanya adopsi inovasi, maka proses adopsi inovasi akan berjalan lebih cepat.

MEMILIH INOVASI YANG TEPAT GUNA
Salah satu faktor yang mempengaruhi percepatan adopsi adalah sifat  dari inovasi  itu  sendiri.  Inovasi yang akan diintroduksi harus mempunyai banyak kesesuaian (daya adaptif) terhadap  kondisi  biofisik,  sosial, ekonomi,  dan  budaya  ya ng ada  di  petani.  Untuk  itu,  inovasi  yang  ditawarkan  ke petani harus inovasi yang tepat guna. Strategi  untuk  memilih  inovasi  yang  tepat  guna  adalah  menggunakan kriteria-kritera  sebagai berikut:
 
1.    Inovasi  Harus  Dirasakan  Sebagai  Kebutuhan  Oleh Nelayan Kebanyakan
Sudah  terlalu  sering  inovasi-inovasi  perta nian  yang  ditawarkan  kepada petani  hanya  “menggaruk  di  tempat  yang  tidak  gatal”,  karena  inovasi-inovasi tersebut  lebih  banyak  bersifat  daftar  keingingan  dari  pihak  luar,  bukan  daftar kebutuhan  masyarakat tani itu sendiri. Kejadian  yang mudah untuk  ditebak adalah tidak diadopsinya inovasi oleh petani.

Kalau diharapkan masyara kat (petani) akan menerima (mengadopsi) suatu inovasi,  para  warga  masyarakat  harus  yakin  bahwa  inovasi  itu  memenuhi  suatu kebutuhan  yang  benar-benar  dirasakan  (Bunch,  2001).  Inovasi  akan  menjadi kebutuhan  petani  apabila  inovasi  tersebut  dapat  memecahkan  masalah  yang sedang dihadapi petani. Sehingga identifikasi masalah secara benar menjadi sangat penting, paling tidak ada dua alasan  (Wahyuni, 2000), yaitu: (a) sesuatu  yang kita anggap  sebagai  masalah,  belum  tentu  merupakan  masalah  yang  dihadapi  oleh petani,  (b)  kalau  toh  masalah tersebut  ternyata  benar  merupaka n  masa lah  petani, belum tentu pemecahannya sesuai denga n kondisi petani.

Cara menemukan teknologi dengan kriteria ini adalah (a) mengidentifikasi masalah  petani secara  benar,  dan  (b) memberikan solusi  masalah  tersebut  dengan inovasi  (teknologi)  Badan  Litbang  yang    tepat.  Untuk  mengidentifikasi  masalah secara benar dapat dilakukan dua metode yaitu metode PRA (Sri Wahyuni, 2000), dan metode alur pikir PMKP (Nies, 2000).

2.    Inovasi Harus Memberi  Keuntungan  Secara Konkrit Bagi Nelayan
Faktor  tunggal  yang  paling  menentukan  dalam  menimbulkan  sema ngatakan suatu program adalah peningkatan pendapatan perorangan yang dapat dicapai dengan  teknologi  anjuran  program  (Bunch,  2001).  Masih  menurut  Bunch, teknologi  yang  perta ma  kali  dianjurkan  program  biasanya  harus  dapat meningkatkan  penghasilan  petani  sebesar  50%-150%.  Secara  lebih  tegas Soekartawi  (1988)  mengatakan    bahwa  jika  memang  benar  teknologi  baru  akan memberikan  keuntungan  yang  relatif  lebih  besar  dari  nilai  yang  dihasilkan teknologi lama, maka kecepatan adopsi inovasi akan berjalan lebih cepat.

Dari  penjelasan  tersebut,  inovasi (teknologi)  yang  akan  diterapkan  dalam PRIMA  TANI  harus  dijamin  akan  memberikan  keuntungan  lebih  disbanding inovasi  (teknologi)  ya ng  sudah  ada.  Jika  hal  ini  terjadi,  niscaya  petani  akan mempunyai  semangat  untuk  menga dopsi.  Untuk  menemukan  inovasi  (teknologi) dengan  kriteria  ini  adalah  (a)  bandingkan  teknologi  introduksi  dengan  teknologi yang  sudah  ada,  selanjutnya  (b)  identifikasi  teknologi  dengan  biaya  yang  lebih rendah atau teknologi dengan produksi yang lebih tinggi.

3.    Inovasi Harus  Mempunyai Kompatibilitas/Keselarasan
Beberapa  pakar  mempunyai  pendapat  yang  berbeda  dalam  memaknai istilah  kompatibilitas. Perbedaan pendapat  tersebut  menguntungkan,  karena justru memberikan  makna  yang  lebih  lengkap.  Beberapa  penjelasan  yang  berbeda tentang kompatibilitas inovasi (teknologi), dapat diura ikan sebagai berikut:

-       Bila  teknologi  baru  merupakan  kela njutan  dari  teknologi  lama  yang  telah dilaksanakan  petani,  maka  kecepatan  proses  adopsi  inovasi  akan  berjalan relatif  cepat  (Soekartawi,  1998).  Disini  kompatibilitas  diartikan  sebagai kesesuaian antara teknologi  lama (existing technology) dengan taknologi baru (introduction technology)
-       Setiap  petani  berusaha  untuk  meningkatkan  penghasilan  dari  keseluruhan usahataninya,  dan  bukannya  dari  satu  jenis  tanaman  atau  hewan  dengan mengorba nkan  salah  satu  yang  lainnya.  Karenanya,  teknologi  baru  harus sesuai  denga n  pola  pertanian  yang  ada  sehingga  dapat  masuk  dalam  pola  itu dengan semudah-mudahnya dan dengan keuntungan sebesar-besarnya (Bunch, 2001).  Penjelasan  ini  memberikan  pengertian  tentang  kompatibiltas  sebagai kesesuaian  antara  inovasi  (teknologi)  dengan  pola  pertanian.  Sebagai  contoh, jika  petani  memanfaatkan  daun  jagung  sebagai  pakan  ternak  sapi,  maka introduksi  teknologi  pengomposan  daun  jagung  akan  sulit  diadopsi  (tidak kompatibel).
-       Compatibility  with  socio-culture  values  and  beliefs,  with  previously introduced  ideas  or  with  farmers’  felt  needs (Van  Den  Ban  and  Hawkins, 1996). Dalam  penjelasan  tersebut,  kompatibilitas  mempunyai  keterkaitan dengan  nilai  sosial  budaya,  kepercayaan,  gaga san  yang  dikenalkan sebelumnya, dan keperluan yang dirasakan oleh petani. Berdasarkan  pendapa t  ketiga  pakar  tersebut  dapat  diperoleh  penjelasan mengenai  kompatibilitas  inovasi  secara   lebih  lengkap,  yaitu: kesesuaian/keselarasan  antara  inovasi  yang  diintroduksikan  dengan  (a)  teknologi yang  telah  ada  sebelumnya,  (b)  pola  pertanian  ya ng  berlaku,  (c)  nilai  sosial, budaya,  keperceyaa n  petani,  (d)  gagasa n  yang  dikenalkan  sebelumnya,  dan  (e) keperlua n yang dirasakan oleh petani. Dengan demikian, inovasi yang mempunyai kompatibiltas tinggi terhadap hal-hal tersebut, akan lebih cepat untuk diadopsi. Untuk  menemukan  teknologi  dengan  kriteria  tersebut,  adalah  (a) melakukan benchmarking terhadap kondisi biofisik, tata  nilai  sosial-ekonomi- budaya, existing  technology ,  pola  pertanian,  (b)  identifikasi  teknologi  Badan Litbang yang sesuai dengan kondisi benchmarking

4.    Inovasi  Harus  Dapat  Mengatasi  Faktor-Faktor Pembatas
Bunch  (2001)  mengata kan  bahwa  kalau  suatu  inovasi  dihara pkan meningkatkan  produktivitas  suatu  sistem  pertanian  setempat, maka dengan atau cara lain, inovasi itu harus (dapat) mengata si faktor-faktor pembatas yang ada dalam sistem itu. Faktor pembatas adalah keadaa n atau prasyarat yang pa ling tidak memadai di suatu wilayah. Sebagai  contoh,  faktor  pembatas  di  lahan  pasang  surut  salah  satunya adalah adanya keracunan besi sehingga produksi padi rendah. Ada teknologi untuk mengatasi faktor pembata s tersebut, yaitu Tata Air Mikro (dengan saluran cacing).

Teknologi tersebut diintroduksikan ke petani dan secara konkrit mampu mengatasi  masalah keracunan besi (faktor  pembatas).  Teknologi  yang  secara konkrit dapat mengatasi faktor pembatas akan cenderung lebih mudah diadopsi. Cara  menemukan  teknologi  dengan  kriteria  tersebut,  adalah  (a) mengidentifikasi  faktor-faktor  pembatas  usahatani  di lokasi PRIMA TANI, dan (b) mengitroduksikan  teknologi yang tepat untuk  mengatasi  faktor  pembatas tersebut.

5.    Inovasi  Mendayagunakan  Sumberdaya  Yang Sudah Ada
Teknologi untuk para petani harus  menggunakan sumberda ya yang  sudah mereka  miliki.  Kalau  sumberdaya  dari  luar  mutlak  diperlukan,  kita  harus memastikan bahwa  sumber daya  itu  murah,  dapat  diperoleh  secara  teratur  dengan mudah dari suatu sumber tetap yang dapat diandalkan (Bunch, 2001). Sebagai  contoh,  seora ng  dokter  hewan  telah  menjelaskan  selama  3  jam tentang pembuatan inkubator anak ayam  yang hanya dengan menggunakan sebuah bola  lampu  listrik.  Inkubator  tersebut  sederhana,  mempunyai  ma nfaat  besar,  dan  sudah  teruji  hasilnya.  Satu-satunya  masa lah adalah  tidak ada satupun  petani  yang tinggal di desa  yang sudah  ada listriknya.  Teknologi semacam itu jelas  tidak akan diadopsi,  karena  tidak  di  dukung  sumberdaya  lokal  yang  mema dai.  Kalau  toh listrik harus diadakan, maka perlu dijamin bahwa petani sanggup  membiayai. Untuk  memperoleh  teknologi  denga n  kriteria  tersebut,  dapat  dilakukan dengan  cara  (a)  mengidentifikasi  sumberdaya  lokal  yang  tersedia,  (b)  mencari teknologi yang ba nyak mamanfatkan sumberdaya lokal tersebut.

6.    Inovasi Harus Terjangkau Oleh Kemampuan Financial Nelayan
Hasil  penelitian  Musyafak et  al. (2002)  menunjukkan  bahwa  beberapa kendala  adopsi  adalah  (a)  inovasi/teknologi  dirasa  mahal  sehingga  tidak terjangkau  oleh  kema mpuan  finansial  petani  (kasus  teknologi  pakan  konsentra tuntuk  sapi  di  Sanggau  Ledo),  (b)  orientasi  usaha  masih  sambilan  bukan  utama (kasus  teknologi  kandang  babi  di  Ngarak),  (c)  harga  komoditas  rendah  (kasus teknologi  budidaya  kedelai  di  Air  Putih),  dan  (d)  ketersediaan  sarana  produksi tidak terjamin (kasus Jagung Bisma di Sanggau Ledo).

Dari  penjelasan  tersebut,  kendala  adopsi  yang  datang  secara internal  dari inovasi itu sendiri adalah  inovasi tersebut  dirasakan mahal oleh  petani. Sedangkan kendala  adopsi  dari  luar  inovasi  itu  sendiri  adalah  orientasi  usaha,  pasar,  dan ketersediaan  sarana  pendukung  (saprodi,  dll).  Sebagus  apapun  teknologi  kalau  tidak  terjangkau  oleh  kema mpuan  finansial  petani  sebagai pengguna,  maka  akan susah  untuk  diadopsi.  Apalagi  kebanyakan  petani  relatif  miskin,  maka  inovasi yang dirasakan murah akan lebih cepat diadopsi dibanding inovasi yang mahal. Cara  menemukan  teknologi  ini  adalah  (a)  mengidentifikasi  kema mpuan permodalan  petani,  sumber  kredit  yang  bisa  diakses  petani,  bantuan/pinjaman  permodalan  melalui  program,  dan  sumber  modal  lain,  (b)  evaluasi,  apakah teknologi yang diintroduksikan terbiayai oleh petani


7.    Inovasi  Harus  Sederhana  Tidak  Rumit  Dan  Mudah Dicoba
Semakin  muda h  teknologi  baru  untuk  dapa t  dipraktekkan,  maka  makin cepat  pula  proses  adopsi  inovasi  yang  dilakukan  petani.  Oleh  karena  itu,  agar proses  adopsi dapat  berjalan  cepat, maka  penyajian  inovasi harus  lebih  sederhana (Sukartawi,1988).  Dengan  demikian  kompleksitas  suatu  inovasi  mempunyai pengaruh yang besar terhadap percepatan adopsi inovasi. Untuk  menemukan  teknologi  denga n  kriteria  tersebut,  dila kukan  dengan mengevaluasi apakah teknologi yang  diintroduksikan sederhana (tidak rumit), jika memang rumit lakukan peragaan, percontohan, pelatihan secara partisipatif.

8.    Inovasi Harus Mudah Untuk Diamati
Ada kalanya petani enggan untuk menanyakan keberhasilan temannya yang telah berhasil menerapkan teknologi. Atau temannya sengaja tidak memberitahu, karena  takut  tersaingi. Jika teknologi yang berhasil tadi tidak mudah untuk diamati, maka  terjadi  kendala  dala m  penyebaran  adopsi  inovasi  tersebut,  akan tetapi  jika  teknologi  tersebut mudah diamati maka banyak  petani  yang  mudah meniru tanpa  harus bertanya  kepa da petani  yang  bersangkutan. Dengan  demikian akan terjadi proses difusi, sehingga jumlah peta ni yang mengadopsi menjadi  lebih banyak.  Agar teknologi  mudah  diamati,  maka  pada  tahap  awal  dilakukan percontohan  atau  demonstrasi  teknologi  yang  dilakukan  di tempat  yang  mudah diamati,  melakukan kunjungan  lapang, diskusikan teknologi yang a da di lapangan secara langsung. Delapan  kriteria  diatas  digunakan untuk  memilih inovasi  yang tepat guna untuk  diintroduksikan  di  lokasi .

Semakin banyak kriteria-kriteria tersebut yang dipenuhi oleh suatu inovasi, maka  semakin besar peluang inovasi tersebut  untuk diadopsi oleh petani. Sebaliknya,  semakin  sedikit  kriteria-kriteria tersebut  yang  dipenuhi  oleh  suatu  inovasi,  maka  semakin  kecil  peluang  inovasi tersebut untuk diadopsi. Adopsi  inovasi  merupakan  suatu  proses  mental  atau perubahan perilaku baik yang berupa pengetahuan (cognitive), sikap (affective),  maupun keterampilan (psychomotor) pada diri seseorang sejak ia mengenal inovasi sa mpai memutuskanuntuk  mengadopsinya  setelah  menerima  inovasi  (Rogers  and  Shoemaker,  1971).Hal senada  disampaikan  oleh  Soekartawi  (1988) yang  menyatakan  bahwa  adopsimerupakan  proses  mental  dalam  diri  seseora ng  melalui  perta ma kali  mendengartentang sua tu inovasi sampai akhirnya mengadopsi.


“Setelah suatu inovasi diadopsi oleh pengguna, maka proses selanjutnya yang diharapkan adalah terjadinya difusi inovasi dimana inovasi disebarkan pada invidu atau kelompok dalam suatu sistem sosial tertentu”


Sumber :

Bunch,  Roland.  2001.  Dua  Tongkol  Jagung:  Pedoman  Pengembangan  Pertanian Berpangkal Pada Rakyat. Edisi ke dua. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta
Ibrahim, J.T., Armand Sudiyono, dan Harpowo. 2003. Komunikasi dan Penyuluhan Pertanian. Banyumedia Publishing. Malang.
Mosher, A.T. 1970. Getting Agriculture Moving. Pyramid Book. New York.
__________.1978. An Introduction to Agricultural Extension. Agricultural Development Council. New York.
Mardikanto, T. 1988. Komunikasi Pembangunan. UNS Press. Surakarta.
___________. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. UNS Press. Surakarta.
___________. 2007. Redefinisi dan Revitalisasi Penyuluhan Pertanian. PUSPA. Surakarta.
___________ dan Sri Sutarni. 1982. Pengantar Penyuluhan Pertanian dalam Teori dan Praktek. Hapsara. Surakarta.
Nasution, Z. 2004. Komunikasi Pembangunan Pengenalan Teori dan Penerapannya. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Rogers, E.M. 1983. Diffusions of Innovations, Third Edition. Free Press. New York
Samsudin, U. S. 1982. Dasar-Dasar Penyuluhan dan Modernisasi Pertanian. Binacipta. Bandung.
Simamora, Bilson. 2003. Membongkar Kotak Hitam Konsumen. PT. Gramedia. Jakarta
Soekartawi. 2005. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. UI Press. Jakarta.
Suprapto, T. dan Fahrianoor. 2004. Komunikasi Penyuluhan dalam Teori dan Praktek. Arti Bumi Intaran. Yogyakarta.
Van den ban, A.W. and Hawkins, H.S. 1996. Agricultural Extension. Second Edition. John Wiley & Son, Inc. New York


No comments: